Minggu, 10 Juni 2018

Jejakaki Tanah Kei #2 Desa Budaya Banda Eli


          
          Menjejakan kaki ke daerah yang belum menjadi destinasi wisata bukanlah perkara yang mudah. Entah angin apa yang membawa Beta ke tempat ini (sepertinya angin Timur,hhe..) Saat itu Beta cuman berfikir; sisa liburan 1 minggu ini harus penuh dengan petualangan. Semacam gayung bersambut, tiba-tiba di minggu yang sama jadwal kapal tujuan Tual / Kei sandar di pelabuhan Yos Sudarso, Ambon. Nah pertanyaannya, mau ke mana saat ke Kei nanti? Secara, ini adalah kali ke dua bagi Beta, menjelajah kepulauan yang hampir seluruh pantainya dianugrahi dengan jajaran pasir putih. Google mengantarkan Beta ke sebuah blog yang berisikan banyak sekali destinasi tersembunyi di wilayah Indonesia timur, khususnya Maluku (silahkan cek :  www.east-indonesia.info). Oke, tahun ini harus ke Kei Besar, jelajah budaya Banda Eli dan Air Terjun Hoko yang termasyur dan instagramable itu..berangkaat..!!


Ambon – Banda Neira - Tual


           Setelah mengumpulkan segala informasi mengenai akses perjalanan menuju Kei Besar - Banda Eli dan Air Terjun Hoko dari beberapa rekan dan kerabat, akirnya Beta segera memesan tiket kapal dengan tujuan Ambon –Tual. Dengan harga Rp. 275rb rupiah, perjalanan Ambon ke Tual akan membelah Laut Banda selama kurang lebih 24 jam, dan dijadwalkan akan singgah / transit di Banda Neira selama dua jam. Nah, momen singgah ini pas banget untuk silaturahim dengan salah satu rekan yang tinggal di Neira, mengisi perut kosong dan kesempatan swafoto di beberapa lokasi bersejarah di sana. Maklum’lah, 24 jam bukan waktu yang sebentar untuk gelesotan di geladak kapal..hhe.. Untuk pemesanan dan cek jadwal kapal pelni, basudara dapat cek di www.pelni.co.id.
Sembako persiapan bulan Ramadhan & Idul Fitri, semuanya tumplek blek di atas Kapal Nggapulu
Swafoto di Banda Neira..

Udah ngidam dari 2 tahun yang lalu (pas pertama kali ke Banda), akhirnya kesampaian; 
Pancake Selai Pala Kenari & segelas Jus Sirsak.. mantab!
Selamat pagi Tual... Jika di lihat pada kalender masehi, seharusnya hari ini (15/5/18) adalah puasa hari pertama. Namun harus disyukuri sampai kaki ini meninggalkan jejak di negeri pasir putih tanah Kei, sidang isbat’pun belum memutuskan puasa akan dimulai pada hari apa. Pastinya bakalan banyak warung makan yang tutup dan aktivitas masyarakat yang tidak sesibuk biasanya selama Bulan Ramadhan.
Ada Ibu dan anak'nya nggak sengaja terfoto pas di pelabuhan,, 
see the bear, what a lovely moment.. :)

Sesuai dengan instruksi yang sampaikan oleh salah satu rekan, saat tiba di Tual Beta harus silaturahim serta izin dengan Bpk. Raja Banda Eli; Bpk. Haji Al Mudin. Tentunya Beta harus menyampaikan maksud dan tujuan kunjungan di desa budaya tersebut.  Nah lo,,ini penting dan wajib banget! Dimana bumi di pijak, disitulah langit harus kita junjung. Yaiyalah, mau bertamu ke rumah saja harus izin dulu..apalagi mau masuk daerah yang belum kita kenal sebelumnya. Kabar baiknya Beta mendapatkan restu dari Bapak Raja untuk berkunjung ke Banda Eli.. Aaaah, lega..Sharing panjang lebar tentang sejarah, budaya dan adat - istiadat, Beta berkesempatan diberi izin untuk melihat lebih dekat ornamen perahu kora - kora khas Banda Eli yang kebetulan di simpan di rumah Beliau. Menariknya, ornamen ini akan dipasang kembali ke perahu kora - kora jika ada festival budaya ataupun acara adat tertentu. Izin sudah Beta terima, selanjutnya adalah memikirkan bagaimana untuk menyeberang dari Tual menuju Pulau Kei Besar esok hari. Untuk malam ini, Beta memutuskan untuk menginap di penginapan Cahaya yang berlokasi tidak jauh dari pasar Kota Tual.
Hiasan & ornamen perahu kora-kora khas Banda Eli berbentuk naga, 
hiasan ini di simpan di kediaman Bpk. Raja di Tual
Suasana Kota Tual saat senja *dilihat dari balkon tempat Beta menginap





















Perjalanan Ekstrem untuk Wisata Anti Mainstream!


             Mungkin namanya tidak setenar dengan Banda Neira di Maluku Tengah. Namun jangan salah, justru di Banda Eli inilah kepingan sejarah Banda Neira dapat kita temukan. Hmm.. Jadi ingat film layar lebar “Banda, The Dark Forgotten Trail”, sebuah film dokumenter karya Dimas Djay yang sempat mendapat “protes” akhir tahun 2017 lalu. Film tersebut terselip kutipan bahwa; masyarakat Banda Neira dihabisi oleh VOC saat monopoli rempah-rempah tanpa sisa. Kenyataan masyarakat keturunan asli Banda Neira yang sempat melarikan diri dan mengungsi saat ini masih dapat kita temukan.. ya di sini, di Banda Eli.
Arsip : lifelikepictures.co




















Untuk menuju Desa Banda Eli ada dua alternatif. Pertama basudara dapat menggunakan kapal speed dari pelabuhan besar Tual yang melayani rute Tual – Banda Eli langsung dengan tarif Rp. 150rb / orang. Perjalanan tersebut memakan waktu kurang lebih 2 jam dengan kondisi laut yang normal. Kapal Fery Tual – Banda Eli sebenarnya juga tersedia, kalau tidak salah setiap hari Rabu dan Jum’at, untuk tarifnya maaf ya Beta kurang tahu..hhe.. mungkin nanti jika sudah tahu Beta akan segera update ya. Untuk alternatif terakhir inilah yang Beta gunakan, yakni menyeberang dari Pelabuhan Watdek di Langgur menuju Elat di Pulau Kei Besar dengan menggunakan kapal cepat dengan tarif Rp. 50rb / orang. Kapal berangkat setiap hari pukul 09.00 WIT ya, awas jangan telat! Perjalanan melalui kapal cepat ini dapat ditempuh 1,5 jam dengan kondisi laut yang kurang bersahabat. 
Harga tiket Tual (Watdek) - Elat; Rp. 50rb / orang


























Tiket di jual on the spot di pelabuhan


























Pelabuhan Watdek



























Kapal Cepat Cantika Inova



























Setelah menyeberang dari Watdek menuju Elat di Pulau Kei Besar, langkah selanjutnya adalah menggunakan moda transportasi ojek menuju Banda Eli. Ojek? Yess, FYI kendaraan roda empat belum memungkinkan untuk menuju desa yang berada di pesisir tenggara Pulau Kei Besar ini. Kenapa? Biar foto-foto Beta yang menjawab ya..hhe.. Hasil tawar menawar dengan abang ojek, dari Rp. 400rb untuk sekali jalan jadi Rp. 250rb sekali jalan. Masih tawar menawar lagi dengan alot akhirnya deal dengan harga Rp. 200rb (Tapi akhirnya Beta bayar 250rb yang alasannya akan Beta jelaskan di bawah). Ojek dari Elat menuju Banda Eli dapat ditempuh selama 2 - 3 jam perjalanan dengan medan tempur yang menurut Beta cukup menantang. Nah, di perjalanan inilah pertanyaan Beta terjawab, kenapa ojek sangat mahal dan belum adanya kendaraan roda empat yang bisa menembus kampung. Beberapa bagian jalan di yang berada di tengah hutan rusak parah! Prihatin, pasti! Lagi-lagi akses jalan yang tidak baik dapat memutuskan roda ekonomi dan pendidikan masyarakat. “Semoga di kampung sebelah tidak hujan ya, kalau hujan akan agak susah perjalanan kita”, ucap Bang Ongen, ojek yang mengantarkan Beta menuju Banda Eli. Di sepanjang perjalanan Beta cuman bisa berharap dan berdoa, pleasee.. jangan hujan dan berilah cuaca yang cerah sepanjang perjalan. Doa anak soleh dijawab, dan cuaca yang cukup cerah (teriring mendung) mengantarkan Beta sampai di Banda Eli dengan selamat.
Selamat datang di Elat



















Deretan ojek motor GL Pro menunggu'mu Broo...


























Perjalanan menembus pesisir pantai Kei Besar
Perjalanan membelah hutan


























Jalur alternatif karena jembatan rusak. Bisa kebayang nggak kalau hujan bagaimana nasib kalian?


























Sungai ini sebenarnya jernih dan luas, sumber air di Kei Besar cukup melimpah


Selamat mingkana hua vunuo Eli


        Setibanya di Banda Eli, Beta langsung meminta Bang Ongen untuk mengantarkan Beta ke rumah Bapak Raja Banda Eli (Purnawirawan), Bpk. Haji Raja Langsung Latar. Sebelum purna tugas, Beliau adalah Raja Banda Eli. Saat ini jabatan Beliau di gantikan oleh adik’nya, Bpk. Haji Al Mudin yang sempat Beta kunjungi di Tual. Walaupun sudah berusia 70 tahunan, Beliau tampak masih sehat dan semangat sekali jika ada tamu yang datang untuk melakukan pengamatan / penelitian di desa’nya. Hari ini adalah hari pertama puasa Ramadhan bagi masyarakat Banda Eli dan mungkin juga beberapa daerah di Indonesia. Sudah menjadi tradisi bagi masyarakat (khususnya Raja) untuk tidak beraktivitas di luar rumah tiga hari puasa pertama Ramadhan. Setelah menyampaikan maksud dan tujuan, Beta izin untuk tinggal dan menginap. Yang pasti Beta di terima dengan baik oleh keluarga Bapak Raja beserta keluarga.
Gegara foto-foto dokumentasi banyak yang hilang, inilah suasana Desa Banda Eli
(Image by : Google.com)

Istirahat bentar, langsung izin Bapak Raja untuk mengunjungi beberapa tempat yang membuat kerajinan gerabah. Beta diarahkan untuk mengunjungi rumah Ibu Hjh.Boki Wandan. Beliau adalah salah satu pengrajin Umbo / Umba khas Banda Eli. Sayang sekali Beta belum bisa melihat langsung proses pembuatan Umbo ini secara langsung, namun Beta mendapatkan informasi mengenai material dan sejarah kerajinan gerabah yang sudah jarang dibuat ini dari Beliau. Pewarnaan Umbo masih menggunakan bahan / material tradisional yang pada dasarnya berwana merah bata dan putih kapur. Pewarna merah menggunakan Batu Tinggao, sementara warna putih menggunakan sari pati batuan kapur di lingkungan sekitar yang disebut Batu Wailyaro. Bahan utama pembuatan Umbo ini adalah tanah liat dicampur dengan pasir halus hingga kalis, diangin-anginkan, kemudian di bakar. Total proses pembuatan Umbo ini bisa sampai 1 bulan loh.. tergantung besar / kecil ukurannya. 
Umba / Tampayang. Barang yang satu ini sudah langka banget, sempat lihat di Museum Siwalima Ambon. Harga kerajinan gerabah ini mungkin tidak seberapa, namun lebih dari itu, Beta melihat pengrajin Umba sebagai pelaku budaya.


























Karena mayoritas masyarakat Banda Eli akan berbuka puasa serta melanjutkan shalat tarawih, Beta memohon izin untuk pamit dari rumah Ibu Boki. Setibanya di rumah, Beta turut serta berbuka puasa dengan keluarga Bapak Raja. Ada momen menarik saat kami bercengkrama bersama Bapak Raja, Beliau menawarkan untuk mengundang saudara’nya yang kebetulan pengrajin emas kawin khas Banda Eli. Wah, menarik, tanpa berpikir panjang Beta’pun mengiyakan. Beliau beserta saudara’nya bercerita tentang penting’nya “emas kawin” ini, baik di masyarakat Banda Eli sendiri maupun di Kepulauan Kei pada umumnya. Emas Banda Eli terbuat bukan dari logam mulia “emas”, namun Emas Bada Eli dibuat dari perak dan kuningan. Rata-rata dibuat dalam bentuk gelang tangan, hiasan telinga, dan juga dibuat menyerupai meriam Belanda & Portugis. Emas ini digunakan sebagai mahar saat pihak laki-laki kepada keluarga perempuan dan tentu saja, jumlah’nya sesuai dengan permintaan keluarga ya. Jika satu buah emas Banda Eli saja dihargai mulai dari Rp. 500rb rupiah, berarti harus mengeluarkan Rp. 5Jt rupiah jika pihak keluarga berkenan untuk meminta 10 gelas emas kawin..hhe.. lumayan lah.. 
Emas Banda Eli, dari gelang, anting, dan beberapa barang yang dibuat menyerupai meriam
sebagai emas kawin
Mulutmu, Harimau’mu... Pepatah ini memang bener banget dan berlaku di desa ini! Jangan sembarangan sesumbar menyakiti orang secara fisik dan emosional loh ya, bisa-bisa basudara harus membayar emas adat ini kepada orang / keluarga yang tidak terima karena ucapan dan tindakan kalian. Karena sangsinya berat Bro, kita harus memberikan jaminan berupa emas kawin tersebut yang nilai’nya bisa sampai jutaan rupiah. Menjadi “benda konsekuensi / benda tebusan” simbolisasi permintaan maaf dari apa yang sudah kita perbuat. Hmmm.. sepertinya bisa menjadi efek jera kan ya..hha.. Nah..jika suatu saat nanti anak / cucu dari keluarga tersebut juga melakukan kesalahan kepada salah satu anggota keluarga kita, emas kawin sebagai barang jaminan tersebut bisa kita minta kembali sebagai tebusannya. Menurut Beta fair play sih..hhe.. Oh iya, Bapak Raja Langsung Latar menyarankan Beta untuk membeli emas kawin tersebut sebagai kenang-kenangan “Adek Andri kan sudah jauh-jauh datang kemari, tidak ada salah’nya jika membeli emas ini sebagai bukti sebagai tanda mata bahwa sudah sampai Banda Eli”. Ada benarnya juga sih..hhe., karena harganya yang tidak murah dan setelah melalui berbagai pertimbangan, akhirnya Beta memutuskan untuk membeli emas tersebut. Kabar baiknya Beta mendapatkan harga spesial malam itu..bungkusss!! Jika bukan karena listrik di kampung ini yang belum terjangkau, mungkin diskusi dan pembicaraan kami bisa berlanjut sampai larut malam ya. Sebagian besar masyarakat Banda Eli masih bergantung dengan Genset pribadi untuk penerangan rumah. Beta mohon bagi pejabat terkait; khususnya PU Balai Jalan, PLN, Kementrian Perhubungan serta Bapak Bupati Maluku Tenggara yang nantinya terpilih (sampai tulisan ini di terbitkan, satu bulan ke depan adalah pemilukada bagi Provinsi Maluku), mohon diperhatikan akses jalan kabupaten dan listrik bagi basudara kita khususnya yang berada di Pulau Kei Besar secara khusus yang berada di sepanjang Elat menuju Banda Eli. #Peringatan_Keras >_<

Banda Eli – Hoko – Elat


         Pagi ini bersiap untuk kembali ke Tual, packing dan saatnya berpamitan kepada Bapak Raja. Dua hari satu malam di Banda Eli adalah waktu yang mepert banget. Jika saja Beta datang pas bukan momen bulan Ramadhan, mungkin Beta bisa extend di sini beberapa hari kedepan. Banyak sekali destinasi alam yang masih asli yang bisa di explore khusunya Air Terjun’nya yang juara. Sebelum pulang, rasanya masih penasaran dengan umba yang dikerjakan oleh orang-orang di Desa ini. Akhirnya Beta diarahkan untuk ke rumah Ibu Arahmah Wah..wah, Dewi Fortuna lagi berpihak kepada Beta, ternyata Umba di rumah ini ready stock. Beta sangat merekomendasikan untuk membeli di Ibu Arahmah jika datang ke Banda Eli. Beta juga sempat berkunjung ke museum mini yang biasa disebut Purawisata oleh masyarakat desa. Disini terdapat beberapa kerajinan yang sengaja di pajang untuk dipamerkan kepada pengunjung sepeti Beta, namun sayang sepertinya kurang “dirawat”. Ayolah..anak-anak muda Banda Eli harus bahu membahu untuk menjadikan bangunan ini berdaya guna ya. (Maaf...dokumentasi foto hilang, sedang di cari solusi untuk mengembalikannya)
        Cuaca siang itu sangat mengkhawatirkan, pamitan dengan Bapak Raja sampai-sampai lupa untuk berswafoto bersama... :’( Beta sudah tahu medan yang akan di hadapi di depan seperti apa, tidak ada jalan lain selain jalan yang sama saat berangkat dari Elat kemarin. Saat itu Beta sempat berpesan dengan Bang Ongen, jalan pelan saja yang penting selamat sampai tujuan. Sepertinya waktu juga tidak memungkinkan untuk mengejar kapal kembali ke Tual. Sekitar 45 menit dari Banda Eli, Beta tiba di Air Terjun Hoko. Entah ini bisa di bilang beruntung atau tidak, yang jelas waktu Beta datang suasana air terjun sangat sepi dari pengunjung. Sepi? Bukannya seneng tapi malah takut dengan suasana yang spooky, sempat ragu untuk foto di air terjun yang instagramable itu..jhahaha... Tapi aseli deh, walaupun berada di sisi jalan, Air Terjun Hoko masih sangat natural. Airnya yang jernih dengan warna biru tosca membuat siapapun tergoda untuk segera membasahi diri. Bang Ongen meyakinkan Beta untuk mendokumentasikan diri. Finally.... 
Wohoo... Air Terjun Hoko..!
      Akhirnya sampai dengan selamat di Elat, Beta memberikan jasa ojek full Rp. 250rb karena Beta sadar, ojek dengan jalan demikian sangatlah setengah mati dengan konsekuensi yang ada. Setelah mengucapkan terimakasih dan berpamitan dengan Bang Ongen, Beta segera menuju pelabuhan, sesuai dugaan, kapal cepat menuju Tual sudah berangkat. Aah... terlambat! Segera memikirkan alternatif tempat tinggal. Setelah bertanya dengan penduduk sekitar, akhirnya Beta memilih untuk menginap di salah satu penginapan dengan harga yang cukup bersahabat di kantong; Rp. 100rb / malam. Ok, malam ini aman, tidak jadi terlantar..hha..
Foto ini diambil dari tempat Beta menginap. Lupa foto penginapan dari depan, kalau lihat masjid ini pastinya kalian sudah dekat dengan penginapan dimana Beta menginap

Keesokan harinya kapal menuju Watdek di Langgur sudah stand by sesuai jadwal, jam 09.00 WIT. Dengan harga tiket yang sama, akhirnya Beta tiba di Langgur dengan selamat. Danke Banyak Banda Eli, sampai bakudapa di lain kesempatan lai.. 

UCAPAN TERIMAKASIH KEPADA :
1. Raja Banda Ely; Bpk. Haji Al Mudin beserta keluarga di Tual
2. Keluarga Besar Raja Banda Ely (Purnawirawan) Bpk. Haji Langsung Latar; Abang Ari, Ade’ Emang dan beberapa kenalan yang tidak bisa disebutkan satu per-satu
3. Jujaro Mungare Nuhu Evav atas segala informasi serta bantuannya ; Kakak Erna Salamoen,      Hendry Aldryn Lestuni, Hasan Kafyan Suat, Jalal Manteanubun, Yolanda Y. Anggraeni Ur
4. Ibu. Arahmah –Pengrajin Umba / Suram Belanga Banda Ely
5. Abang Ongen (Ojek Elat – Banda Eli PP)

FJI; FOR JEJAKERS INFORMATION
1. Dengan tarif Rp. 250rb sekali jalan dari Elat menuju Banda Eli, please..jangan di tawar! Dengan medan perjalanan yang cukup menantang, harga tersebut Beta rasa memang sudah sepantasnya melihat resiko yang harus diambil oleh Abang Ojek ++ motornya.
2. Jika teman-teman tertarik untuk mengunjungi Air Terjun Hoko, Air Terjun ini terletak di Desa Hoko. Satu arah perjalanan menuju Banda Eli. Perjalanan dari Elat ke Air Terjun Hoko kurang lebih 1 jam (tergantung cuaca) dengan tarif sekali jalan Rp. 150rb / orang.
3. Air Terjun Hoko terletak di pinggir desa Hoko, sangat strategis di pinggir jalan utama desa. Jika basudara datang berombongan, alangkah baiknya izin kepada masyarakat sekitar. Selain untuk menjaga etika, hal tersebut juga mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.
4. Setahu Beta, ada dua penginapan di Elat. Salah satu penginapan yang menjadi tempat Beta singgahi adalah Penginapan M. Nohi. Tarif menginap mulai dari Rp. 100rb / malam / orang.
5. Penginapan Cahaya bisa menjadi alternatif minimalis modalis..hhe.. Terletak di Kota Tual, tarif menginap di penginapan ini muali dari Rp. 100rb / malam / orang.
6. Pastikan memiliki uang cash yang cukup jika menjelajah ke suatu daerah yang masih minim fasilitas publik.
7. Pastikan juga untuk memiliki libur / cuti yang panjang, karena kondisi alam dan budaya setempat; bisa jadi itenarary anda meleset dari jadwal yang sudah dibuat karena tidak ada kapal / tertinggal kapal sepeti yang Beta alami.
8. Hampir sepanjang pesisir pantai tenggara Kei Besar belum teraliri listrik. Bawalah powerbank jika tidak mau kehilangan momen berharga saat menemukan spot yang bagus dan alami karena gadget mati karena low batre.