Selasa, 03 Maret 2015

Kolabor"aksi" untuk Ema, Negeri di Atas Awan versi Ambon Manise


 Semua orang juga tahu bahwa predikat ini sering diidentikan dengan masyarakat yang notabenya tinggal di sebuah dataran tinggi / pegunungan. Sebut saja dataran tinggi Dieng di Wonosobo dan Bromo di Jawa Timur. Desa Ema tidak’lah sebanding jika diukur dengan dataran tinggi tersebut, namun bolehlah kalau Beta sebut Ema negeri di atas awan versi Ambon manise. Bukan tanpa alasan, menuju kampung yang terkenal dengan sentra buah durian ini teman-teman harus melalui jalan yang berkontur khas perbukitan karst Maluku. Jalan berkelok menanjak yang tiba-tiba disambut dengan turunan tajam menjadi perjalanan yang “special”. Dari pusat kota, Desa Ema sebenarnya dapat ditempuh sekitar 50 menit saja dengan kendaraan bermotor, tapi jangan dibayangkan kalau teman-teman akan melalui jalanan yang rata ya. “Special” dengan kondisi aspal yang berlubang ataupun longsor di kiri / kanan jalan harus teman-teman waspadai di beberapa titik saat perjalanan,hati-hati ya... Kondisi kontras (lagi) akan kalian temui saat akan memasuki negeri Ema. Jalan dengan kemiringan 45*dengan kondisi yang (maaf) memprihatinkan akan kalian temui saat memasuki kampung ini terpantau kondisi terakhir saat Beta datang kesana. Hal ini’lah yang membuat teman-teman komunitas bergabung membentuk solidaritas dalam “Ema Bergerak”, aktivitas sosial yang bertujuan menjembatani masyarakat desa Ema dengan pemerintah kota / daerah terkait, agar masalah pembangunan jalan yang memang menjadi hak dasar masyarakat  ini segera terselesaikan.
Sebenarnya ini kali kedua Beta datang #menjejakaki ke desa ini, setelah sebelumnya Beta ikut dengan rombongan teman-teman komunitas “Ema Bergerak” untuk mensosialisasikan mengenai aktivitas dan kegiatan sosial kami dengan masyarakat setempat. Dan, malam ini adalah malam puncak seni budaya (kalau Beta boleh bilang sebagai malam solidaritas) dari rangkaian sosialisasi sampai kegiatan kerja bakti yang beberapa minggu sebelumnya telah dilaksanakan oleh teman-teman lintas komunitas. Siapa yang tidak semangat, bagi pendatang seperti Beta, ini adalah kesempatan istimewa untuk mengenal lebih dekat tentang budaya masyarakat / penduduk asli Amboina. Apalagi bakal ada pertunjukan tari Katreji yang terkenal itu, secara Beta belum menyaksikan tari tersebut sejak menginjakan kaki di ibu kota tanah Maluku ini,hhe.. Waktu menunjukan pukul 19.00 WIT, sebenarnya Beta agak ragu untuk segera meluncur ke lokasi berdua saja dengan kendaraan bermotor. Kondisi medan tempur jalan yang agak rusak (yang sudah Beta sebutkan di atas), membelah hutan ringan selama perjalanan, ditambah partner perjalanan Beta yang belum pernah ke lokasi sama sekali membuat Beta sebenarnya dalam hati sedikit bimbang untuk berangkat. Rasa solidaritaslah yang membuat kami berdua semangat untuk menyusul beberapa rekan yang sudah tiba di lokasi terlebih dahulu. Benar saja, sepanjang perjalanan kami melewati hutan dengan penerangan yang minim, bahkan rekan Beta sempat ragu dan beberapa kali meyakinkan Beta apakah jalan yang kami lalui ini benar adanya,hhe.. Toh, akhirnya kami sampai di tempat tujuan. Itu saja? Tentu tidak, untuk mencapai negeri di atas awan ini kami harus 20 menit night life tracking dengan nafas sedikit ngos-ngosan (maklum nafas tua Bung) & kondisi tanpa penerangan  tentunya,,hhaha.. Ambon identik dengan kota teluk & pelabuhan, nah ini yang menjadi istimewa’nya Ema. Panas gerahnya udara ala pantai di pusat kota ambon bakalan kontras dengan kabut dan dinginya udara di lokasi ini saat malam tiba.

Muwujudkan Asa Warga Ema, Larut dalam Keharuan
 Sesampainya di balai desa Ema (tempat di mana acara berlangsung) suasana sudah ramai penuh dengan interaksi seluruh warga desa, untunglah acara belum mulai. Memang, malam solidaritas ini sedianya adalah malam dimana teman-teman lintas komunitas dan masyarakat menyuarakan aksi damai. Pastinya dengan harapan akses jalan utama dari dan menuju negeri Ema segera diperbaiki dan menjadi prioritas perhatian pemerintah daerah. Beta tidak mengetahui terlalu detail rundown acara yang disusun oleh panitia. Yang pasti acara ini akan diisi kolaborasi seni antara masyarakat desa Ema, komunitas temen-temen Ambon Bergerak, Moluccan Backpacker, PAMM & beberapa relawan lainnya (maaf Beta tidak bisa menyebutkan satu persatu, lupa soalnya,,hhe). Sebenarnya serangkaian kegiatan telah dilaksanakan dari pagi hingga sore hari, teman-teman mengadakan berbagai pelatihan pengembangan diri bagi anak-anak dan warga setempat. Seperti yang banyak kita ketahui, acara awal dimulai dengan ramah-tamah perwakilan tetua desa dengan perwakilan pemerintah daerah. Dilanjutkan dengan pemutaran video sejarah singkat mengenai desa Ema. 
Semua warga Negeri Ema melebur jadi satu, nampak tetua desa dengan baju hitam & berselempang merah
Acara berjalan lancar, para penonton yang notabenya warga Ema terpantau sangat ramai diiringi dengan riuh suara tawa anak-anak, hingga semua berubah saat pembacaan puisi dan narasi dari perwakilan warga desa. Suasana haru benar-benar Beta rasakan, Beta pun yakin semua orang yang saat itu berada di lokasi juga merasakan hal yang sama, terbukti semuanya tidak beranjak dari tempat duduk / lokasi dimana dia sedang berdiri. Narasi yang dibacakan oleh narator begitu menyentuh, tiap kalimat dan kata yang diucapkan mewakili realita yang dialami oleh warga yang tinggal di desa Ema setiap harinya. Yang bikin tambah mengharu-biru (lagi), narasi tersebut divisualisasikan oleh beberapa perwakilan warga desa; dari anak-anak berseragam sekolah dasar, remaja smp, pemuda, dewasa hingga orang tua, dan disinilah kelopak mata Beta tidak mampu menahan sumber air yang dari tadi memaksa untuk segera dialirkan. 
Dua oma memanggul buah-buahan dengan disunggi di atas kepalanya. Buah tersebut bisa kita temui di pinggiran kota dengan menempuh perjalanan yang tidak biasa. Naik turun bukit Mas Berooo :'(
Melihat adek yang berjualan roti, seketika langsung teringat dengan adek Beta di rumah. Bisa dibilang mungkin seusianya.
Spechless... membayangkan mereka berjuang setiap hari demi menggapai cita-cita. Salut! Adek yang memakai seragam SMP sampai terharu. Yakin, suasana saat itu "ngena" banget.
Beta baru mengerti betapa akses jalan raya sebegitu pentingnya hingga dapat memutuskan roda ekonomi, pendidikan, hingga kesehatan masyarakatnya. Beta tidak bisa membayangkan oma / opa yang sudah berusia puluhan tahun harus naik turun bukit dengan memikul hasil hutan setiap hari untuk mencukupi kebutuhan hidupnya T-T. Dari sinilah Beta juga memahami bahwasannya ada issu yang di angkat, ada sebuah keprihatinan, ada sebuah kepedulian tentang sebuah desa yang tidak jauh dari pusat kota, yang dalam pengerjaan fasilitas publiknya belasan tahun sampai hari ini belum terselesaikan; akses jalan yang baik.

Feel the warmly Ema, enjoy a truly Ambon with a different way
Dengan membuat sub headline ini bukan berarti daerah-daerah lain di Ambon tidak ramah lo ya,,hhe.. Pastinya keramahan dan kehangatan Indonesia tidak perlu diragukan lagi hingga pelosok negeri. Sambutan ramah khas Ema juga kami rasakan saat menghadiri desa ini pertama kali. Tegur sapa menjadi hal yang lumrah, maklum satu desa kecil ini berada di atas perbukitan, jauh dari keramaian kota sehingga komunikasi dan nuansa kekeluargaan sangat dijunjung tinggi. Selain itu, sebagian warga desa ini berasa masih keluarga sendiri jika ditarik garis lurus dari sejarah family tree / margannnya. Tidak hanya keramahan, kemurahan hati dengan memberikan suguhan makanan dan hasil bumi kepada tamu juga sempat teman-teman alami saat datang ke tempat ini. Bahkan ada suatu waktu teman-teman pesta durian sampai kenyang. Ahh, jadi nggak enak hati kan ya,,hha.. Pun dalam kegiatan malam solidaritas ini kehangatan warga sangat Beta rasakan. Rangkaian acara malam solidaritas satu persatu terlewati dengan baik, dari acara baca puisi, narasi, modern dance, dan yang Beta tunggu adalah Tari Katreji yang terkenal itu. Tarian ini dimainkan oleh muda-mudi secara berpasangan, kental sekali akan akulturasi budaya Belanda & Portugis yang katanya di tempat asalnya tarian ini sudah jarang sekali ditemui. Gerakannya pun terlihat sangat sederhana, namun jangan salah, dibutuhkan konsentrasi  tatkala pemandu tari mengucapkan komando untuk mengubah gerakan / formasi dengan menggunakan bahasa Portugis, Seru! Tarian ini semakin epic diiringi dengan permainan saxophone yang Beta yakin sang pemain mempunyai tarikan nafas yang panjang,,hhe.. 

Tari Katreji yang ditarikan secara berpasangan :)
Seketika seluruh warga yang menyaksikan mengucap kata yang sama : cieeeeee...... (hehehe.. :)
Dan inilah salah satu bagian dari serangkaian acara yang Beta tunggu, syukuran makan bersama. Maklum anak mess, jauh dari keluarga, sebegitunya sampai sepiring makanan sungguh sangat berharga bagi Beta..Jhahaha... Olahan makanan yang dimasak secara gotong royong seluruh warga desa, kemudian dimakan secara rame-rame itu rasanya sungguh nikmat istimewa. Kalau sudah begini, masakan resto bintang 5’pun rasa-rasanya kalah oleh olahan bumbu rempah tradisional ala pedesaan. Berbagai menu masakan disajikan melimpah di meja yang ditata memanjang.  Dari Kasbih resbus (ubi jalar), tumis pepaya muda, ikan laut (lauk wajib ada dimanapun Anda berada selama tinggal di Ambon), dan beberapa olahan aneka sayur. Yang pasti, dari malam syukuran itu Beta langsung jatuh cinta dengan olahan Ketupat Santan. Kelihatannya sederhana memang, namun di setiap potonganya sangat gurih, sungguh tak terlupakan’lah pokok’nya,,*alah, emang dasarnya Beta yang rakus aja kali ya,,haha.. 
Mari makan bersamaaaaa... :D
Semacam long table gitu.. Prasmanan di resto & hotel berbintang ma ewaaat..hahaha.. 
Langsung sikaat!! Jatuh cinta saat lahapan pertama. Local taste Bro, Maluku punya..hha..
Satu lagi kehangatan warga Desa yang melengkapi kegiatan malam ini adalah saat dimana seluruh muda-mudi desa bakumpul bersama. Memang aktivitas seperti ini akan lumrah kita temukan saat ada acara-acara besar kegiatan desa. Musik country, disco, & dansa ala 80’an diputar, dan mari badonci sampai pagi :D Para pria secara gentle mengajak nona-nona manise berdansa (secara berpasangan) mengikuti iringan musik. Olala.. pastinya kesempatan ini langsung Beta manfaatkan untuk belajar derdansa klasik ala Meneer & Sinyo Belanda - Portugis tempo dulu. Ternyata ada etika tersendiri lo saat berdansa, dari posisi tangan, hitungan gerakan ritme kaki, sampai jari-jari tangan mesti terlihat detail & lentik saat berada di pinggang pasangan, Perfecto! Musik diputar bergantian, waktu menunjukkan pukul tiga dini hari dan joget-joget ria cukup melelahkan sehingga membuat Beta melambaikan kedua tangan tanda sudah menyerah! Menyerah? Tunggu dulu, lagi-lagi warga desa menyediakan kudapan roti & bubur kacang ijo sebagai “dopping” energi kami. Aaaaargggh Tidaaak.. ini berdansa-dansi’nya selesai’nya kapan ya,,hahaha... (ketawa sambil nangis). Yang pasti, interaksi dengan warga ini menjadi momen yang asik bagi Beta. Terlepas dari lokasinya yang di atas perbukitan, kehangatan inilah yang membuat Beta ingin ke Ema lagi jikalau ada kesempatan (lebih tepatnya kalau ada yang mau menngajak lagi tentunya,,wkwk..)

Desa bersejarah hingga Potensi Eco Tourism
         Siapa sangka, desa yang terletak di atas perbukitan ini menyimpan catatan sejarah yang mungkin masyarakat Ambon sendiri’pun kurang mengetahui’nya. Dari ide pembuatan Puskesmas yang fasilitasnya bisa kita nikmati hingga hari ini sampai nama besar Kerajaan Majapahit ada di Negeri Ema. Ialah Dr. Johannes Leimena, masyarakat asli kelahiran Ema yang turut berkontribusi dalam pengadaan pusat kesehatan masyarakat yang sekarang kita kenal dengan Puskesmas. Tidak hanya itu, ternyata Almarhum juga turut aktif di Jong Ambon, ia ikut mempersiapkan Kongres Pemuda Indonesia 28 Oktober 1928, yang menghasilkanSumpah Pemuda. Perhatian Beliau pada pergerakan nasional kebangsaan semakin berkembang sejak saat itu (bisa searching di Google) Atas jasanya kepada Negara NKRI, kini nama’Nya harum dalam deretan daftar nama Pahlawan Nasional Indonesia, keren! Ternyata, jejak kebesaran kerajaan Majapahit juga terdapat di desa ini. Sebegitu berarti’nya Desa Ema untuk menjadi bagian dari Nusantara, sampai-sampai Kerajaan Majapahit memberi utusan seorang puteri untuk bernegosiasi dengan Raja yang berada di Ema saat itu. Sementara daerah-daerah lain di Maluku sudah bergabung dengan Majapahit, pendek cerita segala cara negosiasi dan konsolidasi dengan Desa Ema’pun tidak membuahkan hasil. Puteri utusan dari Majapahit’pun dirundung perasaan bersalah dan gagal mengemban perintah dari Raja. Tak ingin kembali ke tanah Wilwatikta dengan rasa malu, sang puteri memilih moksa dengan sebelumnya menitipkan beberapa tombak dan seperangkat’nya (kepada salah satu warga tetua) yang keberadaannya masih bisa kita lihat sampai hari ini. Petilasan terakhir diimana sang puteri moksa dan lenyap meninggalkan jejak mata air jernih (yang keluar dari kendi yang ditinggalkannya, namun kendi sekarang sudah musnah dimakan usia) di Desa Ema yang hingga kini dikenal dengan Mata Air Majapahit.  Hmm... pastinya Beta beruntung bisa datang ke tempat yang belum banyak dikenal oleh banyak orang ini ya,, J Untuk mencapai lokasi tersebut, teman-teman harus menuruni puluhan anak tangga. Lagi-lagi Beta menyarankan untuk membawa persiapan air mineral di tas kecil kalian, ingat botol air mineral’nya jangan dibuang sembarangan ya!.. (tanda seru, bold, underline, garis miring). Selain Mata Air Majapahit, teman-teman juga bisa menyinggahi gereja di Ema yang sudah dibangun secara bertahap sejak akhir abad ke 18. Bila teman-teman kebetulan nasrani (NO SARA), teman-teman dapat mengikuti pengalaman beribadah bersama warga desa setiap minggu pagi. 
Suasana Desa Ema
Balai desa dimana lokasi acara sedang dipersiapkan. Nampak gereja tua Ema nun kejauhan.
Terompet & Saksofon menjadi alat musik utama untuk mengiringi ibadah di gereja. #Ngeksis_dulu..hhe..
Desa ini sangat menari khususnya bagi pecinta wisata sederhana sarat cerita seperti Beta ini. Pengalaman berinteraksi langsung dengan warga, melihat oma-oma dengan pakaian kebaya tradisional khas Ambon, menikmati olahan masakan setempat, apalagi kalau ada kesempatan ikut hunting / panen hasil bumi dengan masyarakat,ahh.. Living Experience, atmosphere sederhana inilah yang kadang terabaikan yang biasanya malah dicari bagi pendatang seperti Beta ini.
Tropical fruits from Moluccas, organik & pastinya  fresh dari alam
Panen Durian..:) Ema menjadi salah satu sentra buah Durian di Ambon
Masyarakat sebagian masih mengandalkan hasil alam dalam keseharian mereka.
Beta bersama sebagian teman-teman team "Ema Bergerak"
Ok, mari mengambil kesimpulan. Kata-kata motivasi ini Beta kutip dari Max Lucado, yang pastinya selalu Beta renungkan dalam setiap kesempatan; “Orang-orang yang membuat perubahan bukanlah mereka yang berijazah, tetapi mereka yang peduli”, pada kenyataannya bener juga ya. Jadilah agen-agen perubahan dimanapun teman-teman berada. Nggak harus muluk, kontribusi apapun, sekecil apapun, mari lakukan. Beta yakin diluar sana maih banyak Ema-Ema lainnya, banyak juga orang-orang yang masih memperjuangkan hak’nya atas berbagai hal bahkan mungkin juga berjuang melawan ketidak adilan. Semangat untuk teman-teman muda Ema, salam manise & semangat dari Beta!

FYI (For Jejakers Information)
1.     Lokasi Desa Ema sebenarnya tidak terlampau jauh dari kota. Ada kalanya beberapa angkot (oto) menuju lokasi ini . Disarankan untuk menggunakan kendaraan bermotor / ojek dengan tarif 25.000 rupiah.
2.      Menuju desa Ema dengan jalan tracking sangat direkomendasikan. Teman-teman akan melihat laut Naku nun kejauhan melalui jalur tracking yang biasa digunakan oleh masyarakat.  Siapkan fisik yang kuat serta air mineral di tas kalian ya,,karena jalur tracking’nya lumayan menguras tenaga,,hhe.. J
3.      Mata Air Majapahit, Gereja Tua Ema, & Bukit Salib bisa menjadi lokasi yang dapat teman-teman kunjungi selama di Ema. Bagi penikmat sejarah, izinlah kepada kepala desa untuk melihat benda-benda bersejarah peninggalan Majapahit (jika berkenan & diizinkan).
4.     Jika di Jogja teman-teman bisa menikmati pengalaman desa wisata / livingstay (tinggal di rumah penduduk seperti di desa Tembi - Bantul), Ema masihlah desa asli yang belum dikenal akan potensinya. Teman-teman bisa bergabung di group FB : Moluccan Backpacker untuk mendapatkan informasi lebih lanjut jika ingin menikmati pengalaman menginap di negeri Ema.
5.      Mengunjungi Ema disarankan saat musim panen buah. Musim ini biasa’nya terjadi pada awal Mei; langsa, duku, durian, avocado adalah beberapa hasil bumi yang bisa teman-teman beli dari masyarakat Ema. Semuanya organik fresh dari alam, pastinya setiap rupiah yang kalian beli akan menambah penghasilan warga sekitar J
6.  Tinggalkan #jejakaki, capture dokumentasi, dan buanglah sampah pada tempatnya even secuil bungkus permen sekalipun.

1 komentar:

Furniture Jati mengatakan...

Wisata Jawa memang sangat menarik, banyak objek wisata yg dapat kita nikmati karena indonesia adalah negeri diatas awan seperti dataran tinggi dieng Wonosobo