Selasa, 07 September 2021

Pulau Tam, Sentra Gerabah yang Hampir Punah

 

Pulau Tam? Ya, terdengar asing di telinga bukan, tidak hanya bagi orang awam, masyarakat Maluku'pun juga jarang mendengar daerah ini. Pulau Tam tergabung pada gugusan di kepulauan Kei, namun secara administratif masuk dalam wilayah Kota Tual.  Perjalanan ke Pulau Tam Beta mulai dari Ambon menggunakan Kapal Pelni. Oh iya, perlu teman-teman ketahui bahwa perjalanan kali ini Beta lakukan pada masa pandemi. Tentunya syarat-syarat kelengkapan kesehatan seperti Rapid Test Antigen, Kartu Kuning (Kartu Pemeriksaan kesehatan di Pelabuhan) serta Vaksinasi telah Beta lengkapi semua. 

Tiket berikut berkas Rapid Tes dan Kartu Kuning

Setibanya di Tual, Beta memilih menginap di penginapan yang berlokasi tidak jauh dari pelabuhan. Ini sangat memudahkan Beta untuk sewaktu-waktu untuk cek jadwal kapal di pelabuhan. Sebenarnya jadwal Kapal dari Tual ke Pulau Tam dilayani oleh Kapal Fery ASDP seminggu dua kali; yakni pada hari Kamis dan Sabtu. Namun karena alasan perbaikan, Kapal Fery tujuan Tam hanya dilayani pada hari Sabtu.

Penginapan Cahaya Tual menjadi andalan tiap kali Beta ke Tual
 (Bangunan tiga lantai dengan tembok berkeramik putih)

Selalu tekankan, ada harga ada fasilitas ya.
Salah satu tipe kamar yang Beta tempati di penginapan Cahaya.

Nah, karena jadwal tersebut, Beta kepikiran untuk menggunakan plan B. Beta kontak kolega untuk menjemput di Pulau Tayando pada hari Kamis, dengan harapan dapat pulang kembali ke Tual dengan kapal Fery pada hari Sabtunya. Namun rencana tersebut malah gagal total.

Nyasar dan Susah Sinyal

Kapal Fery Tanjung Madlahar sebagai andalan masyarakat
untuk bertransportasi ke pulau-pulau kecil di Kepulauan Kei

Kamis pagi Beta berangkat ke Pelabuhan Tual, dan kapal Fery berangkat pukul 09.00 WIT. Setelah 4 jam perjalanan kapal sempat singgah satu kali, sebelum melanjutkan perjalanan. Dua jam kemudian Beta tersadar, harusnya Tayando ditempuh 4 - 5 jam saja dari Tual. Namun ini sudah lewat 2 jam'an, belum tampak satupun daratan, Beta mulai panik. Sejurus kemudian Beta mulai tanya beberapa orang di kapal, namun jawaban belum memuaskan. Ternyata mereka taunya Beta Tujuan Tayando Yamtel, dimana tujuan tersebut akan disinggahi setelah transit di semua pelabuhan. Setelah bertemu dengan satu anak muda Tayando, Beta akhirnya tau kalau Beta nyasar.
Tempat duduk untuk kelas ekonomi

Tampak muatan dalam Kapal Fery

Susahnya sinyal di atas lautan menambah rasa bersalah Beta kepada kolega yang sudah siap menjemput Beta dari Tayando ke Tam.. Rasa-rasa ingin berenang saja.. Dan benar saja, setelah mendapat sinyal, Bapak Sabila (kolega kami) telah mencari Beta keliling pulau Tayando. Sungguh, sesuatu yang di luar rencana.
Kenapa Beta bisa "nyasar",, ternyata di Tayando dan beberapa pulau kecil di Kepulauan Kei, masih banyak yang belum memiliki dermaga / pelabuhan besar untuk kapal bersandar. Semua aktivitas berlangsung di tengah lautan. Bagi pendatang seperti Beta, bongkar muat orang di tengah laut adalah pengalaman baru. Bukannya tanya orang ini sudah sampai mana, Beta malah asik mendokumentasikan kegiatan tersebut. Yang ada di pikiran Beta adalah, kapal sampai ya ada pelabuhan..hhe.. That's it! lain ladang lain belalang memang, lain daerah lain juga keadaannya.. dan pikiran Beta tidak pada tempatnya saat itu dan tidak menyadari bahwa Beta sudah sampai tujuan. Akhirnya Beta harus menumpang kapal Fery tersebut selama 24 jam dan kembali ke Tual. Sungguh perjalanan yang melelahkan.
Material bangunan banyak ini sejatinya material untuk pembuatan masjid di Pulau Kaimer

Semua material diangkat manual dengan tangan. Dampaknya, tentu saja membutuhkan waktu berjam-jam untuk memindahkan'nya manual dari Kapal Fery ke Speed Boat

Bertemu dengan Para "Pelaku Budaya"

Rasanya belum tuntas tubuh ini me-recovery perjalanan nyasar satu hari yang lalu. Tapi, pagi ini (Sabtu) Beta kembali bergegas untuk mengejar kapal Fery dari Tual menuju Pulau Tam. Setelah menempuh kurang lebih 6 – 7 jam perjalanan, akhirnya Beta sampai tujuan. Selama di atas kapal, Beta berkenalan dengan beberapa penumpang lainnya. Sebagai bonus SKSD (Sok Kenal Sok Deket); Beta bersekempatan mendapat tumpangan speed gratis saat menyeberang menuju pessir pantai..hhe.. Selama di Pulau Tam, Beta tinggal di rumah salah satu kolega, yakni keluarga Mantreanubun. Tentu saja, tak lupa untuk melapor diri ke Bapak Sekretaris Desa setempat.

Speed Boat yang membawa penumpang dari Fery ke pesisir

Pulau Tam,  Desa Ngur Hir
Sebenarnya tujuan utama Beta datang ke Pulau Tam adalah untuk melihat langsung proses pembuatan kerajinan gerabahnya. Salah satu turis berkebangsaan asing pernah menuliskan pengalamannya menjelajah Kepulauan Kei melalui artikel online. Dari situlah Beta mendapatkan informasi tentang Pulau Tam. Jauh-jauh hari Beta sudah menghubungi keluarga Mantreanubun untuk memesan beberapa kerajinan tersebut. Memang, membuat Ub (Gerabah dalam Bahasa Setempat) atau dikenal dengan Tampayang / Guci Tempat Air tersebut membutuhkan proses yang tidak sebentar. Dari proses pengulenan bahan dasar tanah liat, pembentukkan, pengeringan dan pewarnaan membutuhkan waktu kurang lebih dua minggu; sebelum berakhir pada proses pembakaran. 

Perlengkapan Mama Siti Hajar saat membuat gerabah. Yang membuat gerabah ini khas adalah pewarna alamnya (perhatikan batu warna merah). Batu yang biasa disebut dengan Wat Mas ini memmberikan hasil warna yang khas dan ethnik.

Gerabah Ub (Tempat Air) yang tebuat dari komposisi Tanah Liat dengan campuran sedikit pasir halus, diuleni sampai kalis; kemudian dibentuk dan dianginkan selama dua minggu

Salah satu pengrajin gerabah yang Beta temui adalah Mama Siti Hajar. Walaupun usianya sudah senja dan tidak lancar Berbahasa Indonesia (masih menggunakan bahasa daerah), senyum dan semangatnya sebagai perajin gerabah masih dapat Beta rasakan. Selain Siti Hajar, Beta juga berkesempatan bertemu dengan Siti Johora, Sarinah, dan Mama Widat. Tentu saja, mereka adalah generasi terakhir pengrajin gerabah di pulau ini, yang kemudian Beta lebih senang menyebut mereka sebagai pelaku budaya. Gerabah yang mereka buat dahulunya berfungsi sebagai tempat air, tempat memasak obat, dll. Namun, fungsi tersebut kini telah tergantikan dengan perlengkapan yang lebih tahan lama / modern seperti berbahan plastik maupun stenless stell. Beberapa diantaranya mencoba berinovasi dengan membuat vas dan pot bunga sesuai pesanan. 

Mama Siti Hajar dengan gerabah Ub karyanya

Mama Siti Johora sangat senang saat Beta membeli gerabahnya.. 

Mama Sarinah membuat asbak dan juga mainan anak-anak berbentuk ayam

Mama Widat berkesempatan menunjukkan sekuruh karyanya.
Bahkan Mama Widat masih membuat gentong ukuran besar untuk tempat air lo.. 

Saat Beta bertanya ke salah seorang anak perajin, mereka menjawab tidak bisa membuat kerajinan ini. Beberapa hal yang membuat kerajinan ini tidak ter-regenerasi adalah kurangnya peminat (pembeli). Karena fungsinya sudah tergantikan dengan perlengkapan yang lebih modern, permintaan sebenarnya ada, namun tidak banyak. Rata-rata masih didominasi oleh kolega maupun instansi terkait sebagai barang kenangan, media promosi pariwisata dan pajangan.  Harga satu Ub biasanya dijual mulai dari puluhan ribu (ukuran sedang) sampai 100ribu'an (untuk ukuran besar). Karena dikerjakan disela waktu luang, kerajinan ini dilihat sebagai barang yang kurang memiliki nilai ekonomis lagi. Padahal gerabah ini sebenarnya memiliki keunikan dan ciri khas tersendiri. Jika tidak ada regenerasi, sangat dikhawatirkan jika nantinya akan berakhir menjadi benda pajangan penanda zaman di museum. Sungguh sangat disayangkan memang, problema yang sama saat Beta berkunjung ke salah satu sentra gerabah lain di Desa Banda Eli; Pulau Kei Besar. Oh iya, sebagai apresiasi, Beta sempat membeli beberapa hasil karya mereka. Senyum simpul'pun merekah; pengrajin senang, pembeli'pin juga senang.. semuanya senang.. hhe

Salah satu inovasi Mama Siti Hajar; membuat pot dan vas bunga

Setelah melihat proses pembuatan gerabah, dan bertemu dengan para “Pelaku Budaya”, tidak banyak akhtivitas yang Beta lakukan di Pulau Tam. Sebenarnya ada Goa tempat masyarakat mengambil air di pulau ini, tapi… panasnya Pulau Tam di siang hari adalah waktu yang pas untuk “balas dendam” istirahat yang belum terlampiaskan karena nyasar kemarin..hhe..

Pulang ke Tual dan bertolak ke Ambon

Inget saat Beta SKSD dengan penumpang lain saat perjalanan ke Pulau Tam di atas Kapal Fery? Nah.. Saat itu Beta berkenalan dengan salah satu Kaka’ bernama  Dino. Kaka’ Dino dan beberapa rekannya kebetulan sedang bertugas untuk pendataan perumahan penduduk. Setelah saling berkabar dan satu lain hal, kami sepakat untuk pulang ke Tual dengan menggunakan speed boat dari masyarakat Senin pagi. Setelah berpamitan kepada keluarga (yang bisa dibilang cukup tergesa-gesa), kami bertolak ke Tual.  Saat di tengah perjalanan, kami sempat bertukar speed dan singgah di Pulau Nunya’i. Ya, pulau panjang berpasir putih ini sempat beta lihat dari kejauhan saat perjalanan di kapal Fery kemarin dan ternyata memang eksotisnya luar biasa! Karena memang masih asli dan jarang dikunjungi juga ya..hhe..
Pulau Nunya'i, dapat ditempuh dengan speed boat dari Tual selama tiga jam

Setelah perjalanan tiga jam (dengan basah kuyup selama perjalanan) kami akhirnya sampai Tual. Sesampainya di Tual, Beta berpisah dengan Kaka’ Dino, dan secepat kilat langsung melakukan rapid tes, membeli tiket kembali ke Ambon sekaligus packing.. Sungguh perjalanan kali ini bisa disebut marathon trip..hhe..

Demikian perjalan  Beta, semoga dapat menginspirasi teman-teman untuk berkunjung juga ke Kepulauan Kei khususnya Pulau Tam. Beta sudah tiga kali ke Kepualau Kei dan selalu saja alasan untuk kembali dan kembali lagi.. Wait for me (again) Kei..

Ucapan Terimakasih



1. Tuhan YME
2. Sdra. Jalal Mantreanubun atas segala informasi dan bantuannya untuk menghubungi kolega'nya di Pulau Tam
3. Bapak Soleman Masahida (Bapak Sabila), Kaka' Abdul Jabar Elwahan (Jabar) dan seluruh keluarga di Pulau Tam yang telah bersedia membukakan pintunya untuk Beta singgah selama berada di Pulau Tam
4. Bapak Sekretaris Desa, Para "Pelaku Budaya " pengrajin gerabah dan semua masyarakat Pulau Tam, khususnya di Desa Ngur Hir
5. Bung Nurcholis Effendy; yang bersedia membantu untuk mencarikan tiket dari Ambon ke Tual
6. Sdra. Dino, Hendri Aldryn Lestuny, Jeery Alfons, dan beberapa teman-teman yang saya hubungi (dan bersedia membantu) untuk memperlancar misi perjalanan saya ini

Yuk, intip video perjalanan Beta :




Estimasi Biaya Perjalanan


Tiket Ambon - Tual (Kapal Pelni): Rp.290.000 / Orang (tipe tempat tidur ekonomi)

Jadwal dan pemesanan bisa cek di : www.pelni.co.id

Atau datang langsung di Travel Agen di sekitar pelabuhan

*Jadwal dapat berubahsewaktu – waktu

Tiket Kapal Fery (Bahtera Nusantara)

- Rp. 300.000 / Orang (untuk tipe tempat duduk)

- Rp. 400.000 / Orang (untuk tipe tempat tidur)

Kontak / Pemesanan :

Agen Cabang Ambon :

Jl. Wem Reawaru No. 29 B (Belakang Kantor Gubernur Maluku)

Kontak : 081247100053 

Agen Cabang Tual :

Jl. Pattimura - Tual

Kontak : 085242230412 

Jadwal :

Ambon – Tual : Kamis

Tual – Ambon : Sabtu

*Jadwal dapat berubahsewaktu – waktu

Tiket Fery Tual – Pulau Tam :

Rp. 45.000 / Orang (untuk tipe tempat duduk ekonomi)

Datang langsung di loket pelabuhan satu jam sebelum kapal berangkat

Jadwal :

Tual – Tayando – Tam : Kamis & Sabtu : 08.00 WIT

Tam - Tayando - Tual : Kamis & Sabtu : 14.00 WIT

*Jadwal dapat berubah sewaktu - waktu

Sewa Speed dari Tam menuju Tual : Rp. 200.000 / Orang (tergantung kondisi / jumlah penumpang)

Penginapan di Tual :

Penginapan Cahaya di Tual mulai dari : Rp. 150.000 / Hari *Twin share untuk 2 orang


Tidak ada komentar: