Kamis, 19 Maret 2015

Pantai Batu Lubang, Destinasi Tersembunyi di Sudut Pulau "Manise"

Rancangan Akhir Pekan


       Akhir pekan di Ambon, waktu yang berharga yang harus dimanfaatkan bener-bener apalagi bagi perantau’ers seperti Beta ini. Jauh hari setelah trip ke Pulau Osi, Beta kembali menjadi tukang kompor untuk memprofokasi temen-temen kerja di kantor yang memang kebetulan tinggal dan besar di Ambon. Tiap kali buka obrolan di kantor, pasti nggak jauh-jauh Beta selipkan mengenai asik’nya jalan-jalan  dan mendadak jadi orang yang kepo addicted mengenai suatu lokasi yang notabenya bisa Beta searching dengan mudahnya di Google,hhe.. Kegiatan memprovokasi Beta ke temen-temen sebenarnya cukup berhasil sih, tapi ya.. pada akhirnya cuman asik di obrolan yang pada hakekatnya tidak terwujud dengan mengantarkan Beta ke TKP (Tempat Kawasan Pariwisata) #Modus Tingkat Dewa,hha.. Hmm, tapi kalo sudah ngobrol & sharing dengan Bung Glen (Suhu’nya kepulauan Maluku yang satu ini memang Te-O-Pe) obrolan yang semula basa-basi harus segera dieksekusi. Ibarat kata, mau kemana ayo aja,, Nahh,,, Beta suka dengan gaya asik Beliau yang satu ini,,hhe.. Sabtu sore Beta kembali memastikan bahwa rencana kita untuk mengunjungi Pantai Batu Lubang harus jadi (dengan gaya sedikit memaksa),jhha.. Penasaran berat dengan lokasi ini setelah baca artikel di salah satu majalah dan diiming-imingi foto dari Beliau yang baru saja mengunjungi tempat tersebut beberapa waktu lalu. Beliau mengiyakan bahwa besok kami akan berangkat pukul 10 WIT  dengan moda transportasi Motor dengan 2 rekan kantor ane yang lainnya.

Hampir “Seng Jadi” Pigi
          Kesempatan emas yang berharga ini (alah),  hampir saja tidak tereksekusi karena 2 rekan kami yang lain mendadak tidak ada motor karena suatu alasan. Setelah 2 jam tidak ada kepastian, akhirnya kami memutuskan untuk berangkat. Berdua? Oh iya, kami ketambahan peserta cilik yang ikut dalam jalan-jalan kali ini. Putri Bung Glen yang lucu; Ivana sepertinya ingin turut serta melepas kangen dengan Ayah’nya yang memang selama 3 bulan terakhir ini tidak bertemu. Perjalanan kami di mulai dari lokasi Mess Beta di Natsepa. FJI, sebenarnya lokasi ini sangat mudah di jangkau karena lokasinya yang tidak jauh dari Bandara Pattimura – Ambon. Dari Bandara Pattimura, teman-teman bisa naik Oto ke jurusan Liliboi (Bilang saja mau ke Pantai Batu Lubang) dengan jarak tempuh 30 menit. Jika teman-teman dari Pusat Kota Ambon, teman-teman bisa menggunakan moda transportasi angkot “oto” dengan rute ke Passo,Tarif Rp.4.000,-, dari Passo bisa melanjutkan perjalanan dengan Oto ke Laha / Bandara Pattimura arah ke Liliboi. Perjalanan dari Kota ke Liliboi kurang lebih menempuh waktu antara 1 jam 15 menit. Menurut pantauan Beta, perjalanan dari kota semakin dekat ke lokasi jika pembangunan jembatan lintas kota – Universitas Pattimura sudah jadi, namun saat ini sedang tahap penyelesaian. Dari Passo menuju Liliboi di bulan – bulan Maret seperti ini teman-teman akan menemui banyak masyarakat yang menjual buah Manggis & Gandaria. Jika Makassar terkenal akan buah Merkisanya, buah Gandaria adalah salah satu buah endemik yang hanya akan teman-teman temui di kepulauan Maluku. Masuk ke kawasan Negeri Hatu, di sepanjang jalan Beta menemui banyak tanda salib yang berjajar rapi di sepanjang jalan desa. Rupanya masyarakat Ambon masih memegang teguh nila-nilai kerohanian (khususnya bagi Masyarakat Kristiani) dalam mengaktualisasikan hari-hari khusus keagamaan Kristen (NO SARA). Jadi, jangan heran ya kalau teman-teman datang ke Ambon di beberapa desa / dipinggiran kota dihiasi dengan ornamen-ornamen & lampion bertemakan kristiani, tanda’nya masyarakat sedang mempersiapkan / menyambut hari khusus keagaman.J 
Nyiur di sepanjang perjalanan di bibir pantai :)
Nampak sTanda Salib di sepanjang jalan
   Tiba di lokasi, sebenarnya sangat di luar ekspektasi Beta. Yang ada di benak Beta, lokasi ber-tempat parkir luas, ber-tiket & ber-tata layaknya tempat lokasi wisata kebanyakan. Yang ada lokasi ini masih sangat “Suci” Mas Brooo! Tanpa bayar alias gratis, parkir’pun kita masih melipir di pinggiran sisi jalan. Memasuki semak belukar berjalan setapak, Beta beberapa kali meyakinkan Bung Glen apakah kita berada di jalan menuju kebenaran,,hahaha... Toh tiba di lokasi Beta langsung terperanggah dengan kecantikan lokasi yang Beta sebut masih “Suci” ini.  Di atas bukit Batu Lubang, kita bisa melihat dua bagian yang kontras nan Indah. Di satu bagian Beta melihat Karang Berlubang yang tergerus oleh aktivitas alamiah, di sisi lain kita akan melihat cantiknya pantai berkerikil halus ditumbuhi vegetasi khas yang masih alami. Itu saja? Oh No,, lagi-lagi bening’nya air dan “kesucian” pantai ini membuat Beta terhasut untuk segera menyelami’nya..hha.. Anak-anak kecil bermain sampan, melompat dari rindangnya pohon yang menjorok ke laut melengkapi imajinasi Beta akan salah satu program televisi yang bertemakan anak-anak Nusantara. Hari Minggu seperti ini, Pantai Batu Lubang cukup ramai, namun Bung Glen yang memang sejak dulu mengenal lokasi ini berkata bahwa lokasi ini ramai baru-baru ini. Pastinya seiring dengan berkembangnya social media ya, membuat destinasi tersembunyi seperti ini dengan mudahnya disambangi. Karena dari bukit Batu Lubang ke pantai di bawahnya terlalu curam, kami memutuskan masuk melalui area jalan yang sudah ditata oleh warga sekitar dengan sumbangan sukarela saja. Beta kembai ke Natsepa setelah sebelumnya singgah terlebih dahulu di rumah Bung Glen dan bercengkrama dengan keluarga Beliau. Danke banyak-banyak untuk pengalaman kali ini Bung! Mantab!

  
Tolong jangan nodai "kesucian" & keindahan ini ya :))

Blusukan, jalan setapak menuju lokasi Batu Lubang,hhe..

Memandangi teluk Ambon nun kejauhan...

Batu Lubang, nampak atas (lumayan tinggi & dalam kalo di lihat dari atas gini)

Wide Screen :D

Vegetasi alami di bibir pantai berkarang :)

Gifo (Gila Foto),hhe.. :P 
FJI (For Jejakakers Information)
  1. Jalan halus mulus, sangat disarankan untuk menggunakan motor untuk menuju lokasi ini. Angkutan “Oto” ke tempat ini sebenarnya ada, namun dengan traffic yang relatih jarang.
  2. Lokasi ini akan menjadi milik kalian pribadi (sepi) jika kalian datang pada hari-hari biasa (tidak pada hari libur).
  3.  Jalan menuju sisi bukit batu lubang cukup curam, gunakan pakaian yang fleksibel. Tidak disarankan untuk memaksakan diri turun ke lokasi.
  4. Tidak ada warung, tidak ada ruang ganti pakaian. Bawa makanan secukup’nya (khususnya air minum) dan perlengkapan ganti yang fleksibel jika ingin menyelami “suci & biru’nya” pantai ini 
  5. Tinggalkan #jejakaki, capture dokumentasi, dan buanglah sampah pada tempatnya even secuil bungkus permen sekalipun.

Rabu, 11 Maret 2015

Jejakaki Pulau Osi

SEMACAM PROLOG



          Sudah banyak trip yang Beta Jejaki, dan Beta merasa berhutang pengalaman pada travel blogger maupun temen-temen backpacker yang telah memberikan banyak sekali informasi yang mengantarkan Beta ke beberapa destinasi di Indonesia.  Empat hari sebelum keberangkatan ke Pulau Osi di Kepulauan Seram-Maluku, Beta berjanji pada diri sendiri kalau perjalanan kali ini harus Beta rangkum dan posting dalam wujud sebuah blog, ya,,hitung-hitung sebagai share pengalaman dan balas budi Beta atas semua informasi yang Beta dapatkan selama ini J So pasti, Beta yakin informasi sekecil apapun akan sangat berguna bagi temen-temen para backpacker / low cost traveler yang sedang menyusun itinerary untuk mengunjungi tempat ini,hhe... Ok, cukup kata pengantarnya, kini kita kembali ke pohon :3   Belum genap satu bulan Beta kerja di Ambon (Baca postingan Beta tentang Ambon di sini>>) tapi rekan Bung (Bung Glen) yang kebetulan hobi jalan langsung nawarin Buat buat ke Pulau Osi. Yap, sebuah gugusan pulau-pulau kecil yang terletak di Pulau Seram bagian selatan yang terkenal dengan hutan mangrove dan jembatan dermaga kayu’nya yang panjang. (Postingan tentang Pulau Osi juga bisa temen-temen baca di moluccanbackpacker.blogspot.com / FB : MoluccanBackpacker).  Sebenarnya perjalanan kali ini tidak bisa disebut sebagai trip sih, mungkin lebih tepatnya touring karena memang selama perjalanan kami menggunakan moda transportasi motor. Setengah enam sore waktu indonesia bagian timur, dan Beta masih sibuk dengan kerjaan greeting card ucapan tahun baru imlek yang belum juga di ACC oleh General Manager. Kelar kerjaan, Beta langsung bersiap untuk berangkat dan beruntunglah karena hal yang paling Beta khawatirkan tidak terjadi; ditinggal oleh rombongan ;-)) Terlambat 10 menit saja, mungkin Beta nggak akan bisa share pengalaman Beta di sini,,hhe. :-P   

SULI (NATSEPA)  – HUNIMUA, AMBON –> WAIPIRIT, PULAU SERAM

           Lokasi kerja Beta berada di Negeri Suli (desa / nama daerah disebut “negeri” oleh masyarakat Maluku), persis di sepanjang Pantai Natsepa yang berlokasi sekitar 45 menit perjalanan dari pusat Kota Ambon. Hujan mengiringi keberangkatan kami dari Suli hingga Pelabuhan ASDP Hunimua Ambon yang kami tempuh hampir satu jam. Tanpa persiapan jas hujan ataupun rain cover, kami terus melanjutkan perjalanan untuk mengejar keberangkatan kapal Feri yang dijadwalkan akan berangkat pukul 8 malam. Kami sepakat akan saling sharing cost dengan partner boncengan motor kami masing-masing. Menempuh perjalan dengan cuaca yang kurang bersahabat, akhirnya kami tiba di pelabuhan Hunimua sekitar pukul 7 WIT, tentu saja dengan keadaan berbasah-basahan,,hhe.. Tarif untuk penyeberangan Fery ASDP dikenakan ongkos Rp. 36.000,- untuk motor & Rp. 17.000,-  untuk Dewasa, sedangkan untuk anak-anak dikenakan tarif Rp.13.000,-. Sebenarnya Beta penasaran dengan jadwal penyebrangan Feri rute Hunimua – Waipirit, namun di loket  Beta tidak menemukan informasi detail tentang jadwal penyebrangannya. Mungkin tersembunyi di sisi lain ruang tunggu kali ya, padahal ini penting banget bagi kita-kita ini para traveller. 
KMP. Roka yang mengantarkan perjalanan kami dari Hunimua - Waipirit

Suasana dek penumpang di atas kapal

Harga tiket penumpang & kendaraan bermotor
Di dek kapal, kebetulan Beta ngobrol dengan salah satu anggota keluarga rekan kerja Beta di kantor yang memang tinggal di Pulau Seram. Pastinya kesempatan emas dong untuk cari tahu lebih banyak tentang destinasi wisata menarik di Pulau Seram, apalagi kalau bukan Pantai Ora yang terkenal itu dan Taman Nasional Manusela’nya yang indah,hhe..#Modus :-p Obrolan mengalir begitu asik hingga topik kami’pun beruntut tentang kuliner papeda sebagai salah satu makanan khas Ambon (yang ternyata ini adalah surprise saat Beta tiba di rumah Beliau). Walau hempasan angin laut sangat terasa di dek penumpang, perjalanan kami bisa dibilang cukup mulus dengan kondisi ombak yang relatif tenang. Perjalanan dari pelabuhan Hunimua Ambon – Waipirit Pulau Seram ditempuh dengan durasi waktu 2 Jam. Kami’pun lantas tiba di Waipirit Pulau Seram antara pukul 22.00 WIT.

PULAU SERAM, TAK SE”SERAM” NAMANYA
 WAIPIRIT – HATUSUA – WAISARISA – NURU – KAMAL – ETI –PIRU (PP)

         Setibanya di pelabuhan ASDP Waipirit, sepertinya cuaca masih belum menampakan tanda-tanda akan bersahabat. Ah, akhirnya menginjakan Pulau Seram juga batinku. Pulau yang selama ini cuman Beta baca di buku IPS sekolah dasar sebagai salah satu tempat penghasil rempah-rempah & tempat pengasingan para pendiri bangsa kita akhirnya bisa Beta sambangi. Keluar dari pelabuhan menuju jalan utama lintas pulu seram, kita akan di sambut dengan Pintu Gerbang dengan tulisan diatas’nya ; “Selamat datang di Bumi Saka Mese Nusa” yang artinya Jagalah Pulau ini Baik-baik”. Jika ke Kiri kita akan menuju Waisarisa & Piru, sedangkan jika ke arah berlawanan (kanan) kita akan menuju Kairu, Liang & Masohi. Pohon nyiur berusia puluhan tahun dengan tinggi antara 8-10 meter’an dan banyak’nya pohon sagu mengindikasi bahwa mayoritas masyarakat Pulau Seram mengkonsumsi sagu serta penghasil kopra yang mungkin saja salah satu yang terbesar di Indonesia. Bagi para pejalan, jangan pernah menyamakan segala kemudahan yang kita dapat di tempat kita tinggal dengan daerah yang baru saja kita jajaki. Jika di pulau Jawa Beta terbiasa dengan lampu penerangan di sepanjang jalan, lain di Pulau Seram dengan akses listrik yang terbatas dan lampu penerangan difokuskan hanya di desa / pemukiman penduduk saja. Kalau dipikir-pikir ngapain juga gitu kan menerangi hutan lebat di tengah jalan, pastinya akan boros listrik banget’kan ya,,hhe.. 
Setibanya di Pelabuhan Waipirit pukul 10 WIT

Isi bensin bensin dulu sebelum melanjutkan membelah lebatnya hutan sagu & kelapa di tengah Pulau Seram

Pohon kelapa banyak ditemui di Pulau ini, kopra adalah salah satu produk olahan'nya

"Selamat datang di Bumi Saka Mese Nusa", Filosofi yang artinya dalem banget. Mantab!
            Menempuh perjalanan antara 40 menit dari Waipirit, akhir’nya kami singgah di tempat tinggal Kakak yang sempat Beta ajak ngobrol di Kapal tadi, tepatnya di daerah Nuru. Tanpa sepengetahuan Beta, ternyata kakak tadi menghubungi kerabat’nya di rumah untuk menyiapkan menu papeda sebagai santapan makan malam kami. Finally makan papeda jua, Danke lai’e Kakak.:D Papeda sendiri berasa hambar, enak dimakan panas-panas ditemani sayur & lauk pendamping yang biasanya olahan ikan laut dengan bumbu kuning atau yang biasa kita sebut bumbu opor. Untuk menginap malam ini, rombongan kami’pun dibagi menjadi dua bagian. Rombongan wanita tetap tinggal, sementara rombongan para pria keren (LOL) menginap di salah satu rumah rekan kerja kami di kantor yang lokasinya tidak begitu jauh. Rejeki anak soleh, Tuhan paling mengerti kebutuhan anak Mess seperti ane ini,hhhe... Setibanya di rumah singgah kedua kami’pun kembali di jamu (lagi). Beginilah cara orang timur menerima tamu, makan malam dengan olahan menu yang melimpah ruah, Tuak/sopi sebagai penghangat (lebih tepatnya sebagai pengakrab suasana kali ya), dan tentu saja sajian musik local “alternatif” sebagai penghalau sepi’nya malam. Sebenarnya tradisi menjamu dan memuliakan tamu seperti ini sudah sering diceritakan panjang lebar oleh Ayah Beta yang kebetulan juga orang Timor (Flores) Yaa,,,namanya juga lahir dan besar di Jawa kan ya, pastinya perasaan Culture Shock juga dengan sambutan yang istimewa. Suguhan musik dengan volume yang tidak biasa di tengah sepi’nya malam serasa gimana gitu, sumpah Broo, kalau di kampung tempat tinggal Beta, minimal ditergur’lah oleh kepala RT,Hahha.. Namun aktivitas “hajatan sederhana” ini sudah lazim dilakukan oleh masyarakat jika ada kerabat ataupun acara seremonial keluarga. Begitulah loyalitas’nya orang timur, tamu dianggap sebagai Anak kandung sendiri yang harus disambut dengan hangat sebegitunya tiba di rumah :D Sementara rekan-rekan yang lain begadang sampai pagi, Beta memohon izin untuk istirahat terlebih dahulu (alasannya kenapa, baca postingan di bawah,,hhe..).

My first Papeda :)) Kenyal, hambar, makan harus disruput bukan dikunyah ya,, kata temen Beta,,hhe :)
Sound yang menemani kami semalaman sampai pagi,,Hhha.. :)

SAVANA INDAH GUNUNG MALINTANG

            Selamat pagi, daan... tebakan Beta benar, beberapa teman ane masih banyak yang masih tepar karena konsumsi olahan minuman tradisional (SOPI) yang berlebihan. Alhasil keberangkatan sempat tertunda sebentar sih,,hhe.. Rekan-rekan berangkat bergegas, Beta memilih autis mengendarai motor sendiri, mengambil posisi paling belakang dan beberapa kali terhenti untuk mengabadikan keajaiban alam Pulau Seram. Untuk sejenak Beta yakin bahwa Tuhan pasti sedang tersenyum saat menata alam Nusantara ini. Savana dengan rumput hijau’nya yang luas, terkadang ditumbuhi beberapa pohon aren tua di tengah’nya dan pohon kayu putih menjadi pengalaman yang tidak bisa tervisualisasikan dengan dokumentasi mata kamera di blog ini. Menuju ke Pulau Osi kita akan melewati Negeri Kamal dan Piru yang ditembuh sekitar 50 menit hingga sebelum akhirnya sampai di tempat tujuan.  Jalan masuk menuju Pulau Osi sedikit becek saat musim hujan, hingga di ujung jalan ini kita akan menemukan pintu gerbang yang menyatakan kita sudah sampai di Pulau Osi. Awalnya Beta heran kenapa di samping pintu gerbang ada pangkalan ojek bukannya loket masuk seperti lazim’nya tempat wisata yang lain. Belakangan Beta tau bahwa Pulau Osi adalah perkampungan nelayan yang terletak paling ujung diantara gugusan pulau-pulau kecil yang ada di sekitarnya. Dan pangkalan ojek’pun ternyata ada gunanya loh, mengantarkan para wisatawan ke ujung pulau tersebut melewati dermaga kayu yang ternyata sangat panjang Mas Broo,,,dermaga kayu yang kokoh tersebut hanya bisa dilalui oleh kendaraan bermotor roda dua. Dan panjang’nya nggak sembarangan, dari pintu gerbang hingga ujung Pulau Osi Beta hitung-hitung mungkin bisa sepanjang 2 KM. Mantab! Lagi-lagi Beta kepikiran, sebenarnya masuk ke lokasi ini bayar atau tidak karena sejak awal masuk kami tidak dikenakan retribusi sepeserpun. Hmm, atau mungkin kondisi hujan kali ya, soalnya sewaktu kami akan pulang tersedia kotak sumbangan masuk untuk satu motor Rp. 5.000,-. Di Pulau Osi kita akan menemukan beberapa penginapan kecil berkonsep resort di tengah laut dengan pemandangan laut Banda dan pegunungan di pulau Seram. Wah, sayang sekali cuaca berkabut, sebenarnya view landscape di sini sangat recomended di saat cuaca cerah. Buat kalian yang ingin mengunjungi Pulau Seram, disarankan pada waktu musim panas ya. Jadwal musim panas kepulauan Maluku bisa di cek di BMKG,,hhe.. :-p Tak jauh dari lokasi ujung pulau ini terdapat perkampungan nelayan Pulau Osi yang menyediakan olahan masakan ikan laut segar yang bisa dimakan di tempat. Per kilogram’nya’pun relatif terjangkau, mulai dari Rp. 100.000,-/Kg kita bisa menikmati ikan bakar ala Pulau Osi. Selesai bersantap ria, siapa yang tidak tergoda dengan birunya laut Seram yang berada di ujung dermaga pulau ini. Dan akhirnya “jump” Beta memilih untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk menyicipi asin’nya laut Seram langsung dari tempatnya sebelum kembali pulang ke Ambon,,Haha..
Savana indah di Gunung Malintang - Pulau Seram
Gerimis menemanui langkah kami, jalan lintas Seram bisa dibilang halus mulus,,hhe..
Gara-gara tempat ini, ane tertinggal jauh dari rombongan,,hhe.. 
Perjalanan menuju Pulau Osi, jalan tidak beraspal di tengah ladang penduduk

Hujan membuat tanah basah berlumpr,motor akan selip jika tidak berhati-hati
Pintu gerbang masuk menuju Pulau Osi, Welcome to Pulau Osi (ingat ya, disamping gerbang ini ada Pangkalan Ojek yang siap mengantar kalian menuju ujung Pulau Osi.
Rumah Tinggal penduduk Pulau Osi, mayoritas penduduk Pulau Osi beragama Muslim
Ikan Garupa segar yang Juaraa!
Pulau Osi :D Mungil dan indah
Biru dan bening, dan Betapun terbuai untuk menyelami'nya
FJI (For Jejakakers Information)

  1. Perhatian pemerintah terhadap beberapa Pulau kecil di Indonesia semakin baik termasuk di Kepulauan Seram. Kondisi jalan utama lintas pulau seram relatif mulus namun di beberapa jembatan masih menggunakan kayu sebagai landasannya.
  2. Angkutan (biasa disebut “Oto”) sebenarnya sudah banyak di Pulau Seram, karena kedatangan kita malam hari, jam mobilitas Oto’pun terbatas. Selain itu, perjalanan ke Pulau Osi yang jauh dari pemukiman menjadi pertimbangan kami untuk mengunakan motor.
  3.  Untuk akses listrik, pemantauan Beta selama disana tidak ada jadwal pemadaman bergilir. Masih aman’lah untuk aktivitas charger-mencharger gadget.
  4. Sediakan uang tunai yang cukup karena akan sulit menemukan ATM di tengah perjalan.
  5. Isi bensin full tank jika mengunakan motor, pastikan kendaraan prima dengan beberapa perlengkapan cadangan akan sangat membantu jika terjadi sesuatu di tengah perjalanan.
  6. Penyebrangan Feri tidak akan diberangkatkan jika cuaca buruk / kondisi alam tidak memungkinkan.
  7. Pantau BMKG (via Twitter @BMKG) untuk mengetahui update cuaca di wilayah Indonesia Timur khususnya Maluku – Kep. Seram.
  8. Tinggalkan #jejakaki, capture dokumentasi, dan buanglah sampah pada tempatnya even secuil bungkus permen sekalipun.

Selasa, 03 Maret 2015

Kolabor"aksi" untuk Ema, Negeri di Atas Awan versi Ambon Manise


 Semua orang juga tahu bahwa predikat ini sering diidentikan dengan masyarakat yang notabenya tinggal di sebuah dataran tinggi / pegunungan. Sebut saja dataran tinggi Dieng di Wonosobo dan Bromo di Jawa Timur. Desa Ema tidak’lah sebanding jika diukur dengan dataran tinggi tersebut, namun bolehlah kalau Beta sebut Ema negeri di atas awan versi Ambon manise. Bukan tanpa alasan, menuju kampung yang terkenal dengan sentra buah durian ini teman-teman harus melalui jalan yang berkontur khas perbukitan karst Maluku. Jalan berkelok menanjak yang tiba-tiba disambut dengan turunan tajam menjadi perjalanan yang “special”. Dari pusat kota, Desa Ema sebenarnya dapat ditempuh sekitar 50 menit saja dengan kendaraan bermotor, tapi jangan dibayangkan kalau teman-teman akan melalui jalanan yang rata ya. “Special” dengan kondisi aspal yang berlubang ataupun longsor di kiri / kanan jalan harus teman-teman waspadai di beberapa titik saat perjalanan,hati-hati ya... Kondisi kontras (lagi) akan kalian temui saat akan memasuki negeri Ema. Jalan dengan kemiringan 45*dengan kondisi yang (maaf) memprihatinkan akan kalian temui saat memasuki kampung ini terpantau kondisi terakhir saat Beta datang kesana. Hal ini’lah yang membuat teman-teman komunitas bergabung membentuk solidaritas dalam “Ema Bergerak”, aktivitas sosial yang bertujuan menjembatani masyarakat desa Ema dengan pemerintah kota / daerah terkait, agar masalah pembangunan jalan yang memang menjadi hak dasar masyarakat  ini segera terselesaikan.
Sebenarnya ini kali kedua Beta datang #menjejakaki ke desa ini, setelah sebelumnya Beta ikut dengan rombongan teman-teman komunitas “Ema Bergerak” untuk mensosialisasikan mengenai aktivitas dan kegiatan sosial kami dengan masyarakat setempat. Dan, malam ini adalah malam puncak seni budaya (kalau Beta boleh bilang sebagai malam solidaritas) dari rangkaian sosialisasi sampai kegiatan kerja bakti yang beberapa minggu sebelumnya telah dilaksanakan oleh teman-teman lintas komunitas. Siapa yang tidak semangat, bagi pendatang seperti Beta, ini adalah kesempatan istimewa untuk mengenal lebih dekat tentang budaya masyarakat / penduduk asli Amboina. Apalagi bakal ada pertunjukan tari Katreji yang terkenal itu, secara Beta belum menyaksikan tari tersebut sejak menginjakan kaki di ibu kota tanah Maluku ini,hhe.. Waktu menunjukan pukul 19.00 WIT, sebenarnya Beta agak ragu untuk segera meluncur ke lokasi berdua saja dengan kendaraan bermotor. Kondisi medan tempur jalan yang agak rusak (yang sudah Beta sebutkan di atas), membelah hutan ringan selama perjalanan, ditambah partner perjalanan Beta yang belum pernah ke lokasi sama sekali membuat Beta sebenarnya dalam hati sedikit bimbang untuk berangkat. Rasa solidaritaslah yang membuat kami berdua semangat untuk menyusul beberapa rekan yang sudah tiba di lokasi terlebih dahulu. Benar saja, sepanjang perjalanan kami melewati hutan dengan penerangan yang minim, bahkan rekan Beta sempat ragu dan beberapa kali meyakinkan Beta apakah jalan yang kami lalui ini benar adanya,hhe.. Toh, akhirnya kami sampai di tempat tujuan. Itu saja? Tentu tidak, untuk mencapai negeri di atas awan ini kami harus 20 menit night life tracking dengan nafas sedikit ngos-ngosan (maklum nafas tua Bung) & kondisi tanpa penerangan  tentunya,,hhaha.. Ambon identik dengan kota teluk & pelabuhan, nah ini yang menjadi istimewa’nya Ema. Panas gerahnya udara ala pantai di pusat kota ambon bakalan kontras dengan kabut dan dinginya udara di lokasi ini saat malam tiba.

Muwujudkan Asa Warga Ema, Larut dalam Keharuan
 Sesampainya di balai desa Ema (tempat di mana acara berlangsung) suasana sudah ramai penuh dengan interaksi seluruh warga desa, untunglah acara belum mulai. Memang, malam solidaritas ini sedianya adalah malam dimana teman-teman lintas komunitas dan masyarakat menyuarakan aksi damai. Pastinya dengan harapan akses jalan utama dari dan menuju negeri Ema segera diperbaiki dan menjadi prioritas perhatian pemerintah daerah. Beta tidak mengetahui terlalu detail rundown acara yang disusun oleh panitia. Yang pasti acara ini akan diisi kolaborasi seni antara masyarakat desa Ema, komunitas temen-temen Ambon Bergerak, Moluccan Backpacker, PAMM & beberapa relawan lainnya (maaf Beta tidak bisa menyebutkan satu persatu, lupa soalnya,,hhe). Sebenarnya serangkaian kegiatan telah dilaksanakan dari pagi hingga sore hari, teman-teman mengadakan berbagai pelatihan pengembangan diri bagi anak-anak dan warga setempat. Seperti yang banyak kita ketahui, acara awal dimulai dengan ramah-tamah perwakilan tetua desa dengan perwakilan pemerintah daerah. Dilanjutkan dengan pemutaran video sejarah singkat mengenai desa Ema. 
Semua warga Negeri Ema melebur jadi satu, nampak tetua desa dengan baju hitam & berselempang merah
Acara berjalan lancar, para penonton yang notabenya warga Ema terpantau sangat ramai diiringi dengan riuh suara tawa anak-anak, hingga semua berubah saat pembacaan puisi dan narasi dari perwakilan warga desa. Suasana haru benar-benar Beta rasakan, Beta pun yakin semua orang yang saat itu berada di lokasi juga merasakan hal yang sama, terbukti semuanya tidak beranjak dari tempat duduk / lokasi dimana dia sedang berdiri. Narasi yang dibacakan oleh narator begitu menyentuh, tiap kalimat dan kata yang diucapkan mewakili realita yang dialami oleh warga yang tinggal di desa Ema setiap harinya. Yang bikin tambah mengharu-biru (lagi), narasi tersebut divisualisasikan oleh beberapa perwakilan warga desa; dari anak-anak berseragam sekolah dasar, remaja smp, pemuda, dewasa hingga orang tua, dan disinilah kelopak mata Beta tidak mampu menahan sumber air yang dari tadi memaksa untuk segera dialirkan. 
Dua oma memanggul buah-buahan dengan disunggi di atas kepalanya. Buah tersebut bisa kita temui di pinggiran kota dengan menempuh perjalanan yang tidak biasa. Naik turun bukit Mas Berooo :'(
Melihat adek yang berjualan roti, seketika langsung teringat dengan adek Beta di rumah. Bisa dibilang mungkin seusianya.
Spechless... membayangkan mereka berjuang setiap hari demi menggapai cita-cita. Salut! Adek yang memakai seragam SMP sampai terharu. Yakin, suasana saat itu "ngena" banget.
Beta baru mengerti betapa akses jalan raya sebegitu pentingnya hingga dapat memutuskan roda ekonomi, pendidikan, hingga kesehatan masyarakatnya. Beta tidak bisa membayangkan oma / opa yang sudah berusia puluhan tahun harus naik turun bukit dengan memikul hasil hutan setiap hari untuk mencukupi kebutuhan hidupnya T-T. Dari sinilah Beta juga memahami bahwasannya ada issu yang di angkat, ada sebuah keprihatinan, ada sebuah kepedulian tentang sebuah desa yang tidak jauh dari pusat kota, yang dalam pengerjaan fasilitas publiknya belasan tahun sampai hari ini belum terselesaikan; akses jalan yang baik.

Feel the warmly Ema, enjoy a truly Ambon with a different way
Dengan membuat sub headline ini bukan berarti daerah-daerah lain di Ambon tidak ramah lo ya,,hhe.. Pastinya keramahan dan kehangatan Indonesia tidak perlu diragukan lagi hingga pelosok negeri. Sambutan ramah khas Ema juga kami rasakan saat menghadiri desa ini pertama kali. Tegur sapa menjadi hal yang lumrah, maklum satu desa kecil ini berada di atas perbukitan, jauh dari keramaian kota sehingga komunikasi dan nuansa kekeluargaan sangat dijunjung tinggi. Selain itu, sebagian warga desa ini berasa masih keluarga sendiri jika ditarik garis lurus dari sejarah family tree / margannnya. Tidak hanya keramahan, kemurahan hati dengan memberikan suguhan makanan dan hasil bumi kepada tamu juga sempat teman-teman alami saat datang ke tempat ini. Bahkan ada suatu waktu teman-teman pesta durian sampai kenyang. Ahh, jadi nggak enak hati kan ya,,hha.. Pun dalam kegiatan malam solidaritas ini kehangatan warga sangat Beta rasakan. Rangkaian acara malam solidaritas satu persatu terlewati dengan baik, dari acara baca puisi, narasi, modern dance, dan yang Beta tunggu adalah Tari Katreji yang terkenal itu. Tarian ini dimainkan oleh muda-mudi secara berpasangan, kental sekali akan akulturasi budaya Belanda & Portugis yang katanya di tempat asalnya tarian ini sudah jarang sekali ditemui. Gerakannya pun terlihat sangat sederhana, namun jangan salah, dibutuhkan konsentrasi  tatkala pemandu tari mengucapkan komando untuk mengubah gerakan / formasi dengan menggunakan bahasa Portugis, Seru! Tarian ini semakin epic diiringi dengan permainan saxophone yang Beta yakin sang pemain mempunyai tarikan nafas yang panjang,,hhe.. 

Tari Katreji yang ditarikan secara berpasangan :)
Seketika seluruh warga yang menyaksikan mengucap kata yang sama : cieeeeee...... (hehehe.. :)
Dan inilah salah satu bagian dari serangkaian acara yang Beta tunggu, syukuran makan bersama. Maklum anak mess, jauh dari keluarga, sebegitunya sampai sepiring makanan sungguh sangat berharga bagi Beta..Jhahaha... Olahan makanan yang dimasak secara gotong royong seluruh warga desa, kemudian dimakan secara rame-rame itu rasanya sungguh nikmat istimewa. Kalau sudah begini, masakan resto bintang 5’pun rasa-rasanya kalah oleh olahan bumbu rempah tradisional ala pedesaan. Berbagai menu masakan disajikan melimpah di meja yang ditata memanjang.  Dari Kasbih resbus (ubi jalar), tumis pepaya muda, ikan laut (lauk wajib ada dimanapun Anda berada selama tinggal di Ambon), dan beberapa olahan aneka sayur. Yang pasti, dari malam syukuran itu Beta langsung jatuh cinta dengan olahan Ketupat Santan. Kelihatannya sederhana memang, namun di setiap potonganya sangat gurih, sungguh tak terlupakan’lah pokok’nya,,*alah, emang dasarnya Beta yang rakus aja kali ya,,haha.. 
Mari makan bersamaaaaa... :D
Semacam long table gitu.. Prasmanan di resto & hotel berbintang ma ewaaat..hahaha.. 
Langsung sikaat!! Jatuh cinta saat lahapan pertama. Local taste Bro, Maluku punya..hha..
Satu lagi kehangatan warga Desa yang melengkapi kegiatan malam ini adalah saat dimana seluruh muda-mudi desa bakumpul bersama. Memang aktivitas seperti ini akan lumrah kita temukan saat ada acara-acara besar kegiatan desa. Musik country, disco, & dansa ala 80’an diputar, dan mari badonci sampai pagi :D Para pria secara gentle mengajak nona-nona manise berdansa (secara berpasangan) mengikuti iringan musik. Olala.. pastinya kesempatan ini langsung Beta manfaatkan untuk belajar derdansa klasik ala Meneer & Sinyo Belanda - Portugis tempo dulu. Ternyata ada etika tersendiri lo saat berdansa, dari posisi tangan, hitungan gerakan ritme kaki, sampai jari-jari tangan mesti terlihat detail & lentik saat berada di pinggang pasangan, Perfecto! Musik diputar bergantian, waktu menunjukkan pukul tiga dini hari dan joget-joget ria cukup melelahkan sehingga membuat Beta melambaikan kedua tangan tanda sudah menyerah! Menyerah? Tunggu dulu, lagi-lagi warga desa menyediakan kudapan roti & bubur kacang ijo sebagai “dopping” energi kami. Aaaaargggh Tidaaak.. ini berdansa-dansi’nya selesai’nya kapan ya,,hahaha... (ketawa sambil nangis). Yang pasti, interaksi dengan warga ini menjadi momen yang asik bagi Beta. Terlepas dari lokasinya yang di atas perbukitan, kehangatan inilah yang membuat Beta ingin ke Ema lagi jikalau ada kesempatan (lebih tepatnya kalau ada yang mau menngajak lagi tentunya,,wkwk..)

Desa bersejarah hingga Potensi Eco Tourism
         Siapa sangka, desa yang terletak di atas perbukitan ini menyimpan catatan sejarah yang mungkin masyarakat Ambon sendiri’pun kurang mengetahui’nya. Dari ide pembuatan Puskesmas yang fasilitasnya bisa kita nikmati hingga hari ini sampai nama besar Kerajaan Majapahit ada di Negeri Ema. Ialah Dr. Johannes Leimena, masyarakat asli kelahiran Ema yang turut berkontribusi dalam pengadaan pusat kesehatan masyarakat yang sekarang kita kenal dengan Puskesmas. Tidak hanya itu, ternyata Almarhum juga turut aktif di Jong Ambon, ia ikut mempersiapkan Kongres Pemuda Indonesia 28 Oktober 1928, yang menghasilkanSumpah Pemuda. Perhatian Beliau pada pergerakan nasional kebangsaan semakin berkembang sejak saat itu (bisa searching di Google) Atas jasanya kepada Negara NKRI, kini nama’Nya harum dalam deretan daftar nama Pahlawan Nasional Indonesia, keren! Ternyata, jejak kebesaran kerajaan Majapahit juga terdapat di desa ini. Sebegitu berarti’nya Desa Ema untuk menjadi bagian dari Nusantara, sampai-sampai Kerajaan Majapahit memberi utusan seorang puteri untuk bernegosiasi dengan Raja yang berada di Ema saat itu. Sementara daerah-daerah lain di Maluku sudah bergabung dengan Majapahit, pendek cerita segala cara negosiasi dan konsolidasi dengan Desa Ema’pun tidak membuahkan hasil. Puteri utusan dari Majapahit’pun dirundung perasaan bersalah dan gagal mengemban perintah dari Raja. Tak ingin kembali ke tanah Wilwatikta dengan rasa malu, sang puteri memilih moksa dengan sebelumnya menitipkan beberapa tombak dan seperangkat’nya (kepada salah satu warga tetua) yang keberadaannya masih bisa kita lihat sampai hari ini. Petilasan terakhir diimana sang puteri moksa dan lenyap meninggalkan jejak mata air jernih (yang keluar dari kendi yang ditinggalkannya, namun kendi sekarang sudah musnah dimakan usia) di Desa Ema yang hingga kini dikenal dengan Mata Air Majapahit.  Hmm... pastinya Beta beruntung bisa datang ke tempat yang belum banyak dikenal oleh banyak orang ini ya,, J Untuk mencapai lokasi tersebut, teman-teman harus menuruni puluhan anak tangga. Lagi-lagi Beta menyarankan untuk membawa persiapan air mineral di tas kecil kalian, ingat botol air mineral’nya jangan dibuang sembarangan ya!.. (tanda seru, bold, underline, garis miring). Selain Mata Air Majapahit, teman-teman juga bisa menyinggahi gereja di Ema yang sudah dibangun secara bertahap sejak akhir abad ke 18. Bila teman-teman kebetulan nasrani (NO SARA), teman-teman dapat mengikuti pengalaman beribadah bersama warga desa setiap minggu pagi. 
Suasana Desa Ema
Balai desa dimana lokasi acara sedang dipersiapkan. Nampak gereja tua Ema nun kejauhan.
Terompet & Saksofon menjadi alat musik utama untuk mengiringi ibadah di gereja. #Ngeksis_dulu..hhe..
Desa ini sangat menari khususnya bagi pecinta wisata sederhana sarat cerita seperti Beta ini. Pengalaman berinteraksi langsung dengan warga, melihat oma-oma dengan pakaian kebaya tradisional khas Ambon, menikmati olahan masakan setempat, apalagi kalau ada kesempatan ikut hunting / panen hasil bumi dengan masyarakat,ahh.. Living Experience, atmosphere sederhana inilah yang kadang terabaikan yang biasanya malah dicari bagi pendatang seperti Beta ini.
Tropical fruits from Moluccas, organik & pastinya  fresh dari alam
Panen Durian..:) Ema menjadi salah satu sentra buah Durian di Ambon
Masyarakat sebagian masih mengandalkan hasil alam dalam keseharian mereka.
Beta bersama sebagian teman-teman team "Ema Bergerak"
Ok, mari mengambil kesimpulan. Kata-kata motivasi ini Beta kutip dari Max Lucado, yang pastinya selalu Beta renungkan dalam setiap kesempatan; “Orang-orang yang membuat perubahan bukanlah mereka yang berijazah, tetapi mereka yang peduli”, pada kenyataannya bener juga ya. Jadilah agen-agen perubahan dimanapun teman-teman berada. Nggak harus muluk, kontribusi apapun, sekecil apapun, mari lakukan. Beta yakin diluar sana maih banyak Ema-Ema lainnya, banyak juga orang-orang yang masih memperjuangkan hak’nya atas berbagai hal bahkan mungkin juga berjuang melawan ketidak adilan. Semangat untuk teman-teman muda Ema, salam manise & semangat dari Beta!

FYI (For Jejakers Information)
1.     Lokasi Desa Ema sebenarnya tidak terlampau jauh dari kota. Ada kalanya beberapa angkot (oto) menuju lokasi ini . Disarankan untuk menggunakan kendaraan bermotor / ojek dengan tarif 25.000 rupiah.
2.      Menuju desa Ema dengan jalan tracking sangat direkomendasikan. Teman-teman akan melihat laut Naku nun kejauhan melalui jalur tracking yang biasa digunakan oleh masyarakat.  Siapkan fisik yang kuat serta air mineral di tas kalian ya,,karena jalur tracking’nya lumayan menguras tenaga,,hhe.. J
3.      Mata Air Majapahit, Gereja Tua Ema, & Bukit Salib bisa menjadi lokasi yang dapat teman-teman kunjungi selama di Ema. Bagi penikmat sejarah, izinlah kepada kepala desa untuk melihat benda-benda bersejarah peninggalan Majapahit (jika berkenan & diizinkan).
4.     Jika di Jogja teman-teman bisa menikmati pengalaman desa wisata / livingstay (tinggal di rumah penduduk seperti di desa Tembi - Bantul), Ema masihlah desa asli yang belum dikenal akan potensinya. Teman-teman bisa bergabung di group FB : Moluccan Backpacker untuk mendapatkan informasi lebih lanjut jika ingin menikmati pengalaman menginap di negeri Ema.
5.      Mengunjungi Ema disarankan saat musim panen buah. Musim ini biasa’nya terjadi pada awal Mei; langsa, duku, durian, avocado adalah beberapa hasil bumi yang bisa teman-teman beli dari masyarakat Ema. Semuanya organik fresh dari alam, pastinya setiap rupiah yang kalian beli akan menambah penghasilan warga sekitar J
6.  Tinggalkan #jejakaki, capture dokumentasi, dan buanglah sampah pada tempatnya even secuil bungkus permen sekalipun.