The Power of Spoken Words!
Pernah dengar
penggalan kalimat ini? Ya, bisa dibilang apa yang keluar dari mulut memilki
kekuatan ibarat sebuah doa dan lagi-lagi ini yang Beta alami. Sempat berkelakar
akan datang ke Toraja (lagi) di lain waktu, dan benar saja Beta kembali ke Tana
Toraja. Jika tujuh tahun lalu mengawali start dari Kota Pahlawan, kali ini Beta
mengawali perjalanan dengan kota dengan senyuman manis dan kulit eksotis; Ambon
Manise.
Riuh suara
klakson mobil angkutan umum sudah terdengar dari kejauhan, perlahan kapal
penumpang yang bernamakan salah satu gunung di Magelang baru saja memasuki
Pelabuhan Yos Sudarso Ambon. Menggunakan layanan PT.Pelni untuk menuju pintu
gerbang Provinsi Sulawesi Selatan selama dua hari lamanya, kemudian melanjutkan
perjalanan darat selama delapan jam untuk menuju Toraja, hmm.. membayangkan
saja sudah pasti melelahkan. Hayooee... mau bilang apa lai,, hajar saa..
sejenak menjauh dari rutinitas.. hhe.. Karena perbaikan sistem layanan
penumpang (satu tiket, satu tempat tidur), ada baiknya pesan tiket kapal
jauh-jauh hari agar tidak kehabisan.
|
Tiket baru Kapal Pelni |
|
Suasana di dalam Kapal Todar |
Berburu tenun di Sa’Dan sampai blusukan di Pasar
Belu
Semilir angin
dingin menembus kain selimut yang disediakan pihak Bus Litha, bukan karena AC
di dalam Bus, namun udara khas dataran tinggi yang menyusup dari pintu saat
penumpang turun. Semacam sapaan bahwa Beta sudah sampai di pusat kota Kabupaten
Toraja Utara; Rantepao.
Nah, kalau
ditanya takut nyasar sih enggak ya (karena beberapa kali memang disasarkan
Google Maps..hha), lebih takut ban motor bocor di tenggah pematang sawah karena
beberapa ruas jalan rusak menjadi kekhawatiran Beta selama menjelajah Toraja
Utara.
Di hari yang sama
Beta mendapatkan informasi dari tempat menginap jika akan diadakan adu Tedong
atau biasa disebut Ma’Pasilaga Tedong di salah satu desa (yang pada akhirnya
Beta tahu bahwa ini adalah bagian dari rangkaian upacara pemakaman adat).
Aturan mainnya sih sederhana, Tedong akan diadu secara bergantian sampai acara
berakhir, siapa yang paling tangguh ialah jawaranya. Tak pelak lembaran uang
puluhan sampai ratusan ribu keluar dari saku dari saku penonton untuk mempertaruhkan
Tedong jagoan mereka.
|
Ma;Pasilaga Tedong |
|
Serasa nonton adu Banteng di Amerika Latin,,hhe.. |
|
Hiburan rakyat.. |
Happy Sunday
Setiap kali
backpacker’an, Beta berusaha (sebisa mungkin) untuk menyempatkan beribadah di
tempat yang Beta singgahi. Terlepas dari kewajiban Beta sebagai umat kristiani,
Beta ingin berbaur dan menyelami kehidupan masyarakatnya. Kali ini Beta
berkesempatan beribadah di Gereja Tua Toraja yang berada di pusat kota
Rantepao. Uniknya, ibadah sampai dilakukan sampai empat kali karena jumlah
jemaat melebihi kapasitas daya tampung gereja yang mungil.
|
Gereja Tua Toraja Utara |
|
Interior Gereja dengan jadwal Ibadah pada pukul : 06.00, 09.00, 16.00 & 18.00 WITA |
Tidak ingin menyia-nyiakan
satuharipun untuk eksplore daerah yang tersohor dengan biji kopinya ini,
selesai ibadah Beta langung tancap gas menuju Desa Bori. Susunan batuan menhir
sebagai penghormatan roh nenek moyang dan leluhur masih banyak dijumpai di
daerah ini. Karena Kalimbuang Bori sebenarnya adalah kompleks pemakaman
keluarga, jangan lupa untuk menjaga etika dan selalu tanyakan kepada petugas /
penduduk sekitar jika ada hal yang belum diketahui. Estimasi waktu dari
Rantepao menuju Kalimbuang Bori adalah 45 menit dan dikenakan biaya Rp.15.000,-
sebagai retribusi. Susunan batuan yang kokoh, tongkonan, area persawahan dan
hutan bambu membuat komplek ini semakin artistik jauh dari kata
menyeramkan..hhe..
|
Batuan menhir yang gagah, kebayang aja bagaimana cara menata dan mengangkut di kompleks ini |
|
Untuk mendirikan satu batuan menhir, harus mengorbankan puluhan hingga ratusan hewan kurban |
|
Komplek pemakaman yang abadi |
|
Melewati persawahan, perjalanan menuju Bori Kalimbuang |
Suara riuh di
tengah sawah mengalihkan perjalanan Beta, oh sepertinya ada acara warga batin’Ku.
Asyiknya kalau berkunjung ke Toraja paska panen raya ya gini, kita akan
menemukan beberapa aktivitas warga salah satunya Ma’seba. Acara baku tendang
kaki antar pemuda desa, tiada rasa benci dan dendam setelah acara selesai.
Justru raut wajah kegembiraan dan persaudaraan dari acara yang pada awalnya
terlihat seperti tawuran..hhe..
|
Ma'Seba,, |
Menyaksikan Prosesi Pemakaman Adat yang
sakral
Angin dingin
yang terbawa dari kabut lereng Gunung Sesehan di Batutumonga menembus kulit.
Selain karena Beta yang salah kostum, sepertinya tubuh terlanjur terbiasa
dengan deburan ombak dan panas terik Pantai Natsepa Ambon..hhe.. Hari terakhir
sebelum memutuskan untuk kembali ke Makassar, yang niat awalnya hanya ingin
melihat pekuburan batu di Lokomata malah berujung melihat prosesi sakral Rambu
Solo’ saat bertemu dengan pemuda Toraja di tengah perjalanan; Roman Pongsama’. Kebetulan
lokasi prosesi Rambu Solo melewati Lokomata, nah Lokomata adalah pekuburan batu
besar yang terletak di pinggiran jalan. Amazed aja sih, ada batu sebesar ini di
sisi jalan dan itu adalah komplek pemakaman yang instagramable.
|
Pekuburan Lokomata, asli batu ini besar banget.. |
|
Lokomata dari sisi lain |
Kebetulan
sekali hari ini akan dilangsungkan dua acara adat Rambu Solo’ di dua keluarga
yang berbeda. Karena memasuki revolusi digital 4.0 (yang berimbas dalam
menurunnya minat baca), oke, Beta akan menjelaskan dan mepersingkat pengalaman
Beta saat melihat prosesi Rambu Solo’ di dua tempat tersebut. Rambu Solo’
sendiri berarti ritus persembahan untuk orang mati, biasanya rangkaiannya
dilaksanakan sesudah pukul 12.00
siang seiring matahari mulai bergerak menurun ke arah barat. Disini Beta paham
kenapa beberapa kali Bang Roman menanyakan jam saat perjalanan menuju desa
tempat diselenggarakan acara. Nah, kalau mau tahu tahapan prosesi serta srata
adat pemakaman Rambu Solo’ sebenarnya ada banyak. Saat ini Beta berkesempatan
menyaksikan prosesi Dipatallung Bongi, yakni prosesi pemakaman dengan
minimal 4 kerbau dan puluhan babi serta prosesi penguburan yang berlangsung
selama tiga hari tiga malam. Rangkaiannya terdiri dari : Hari pertama adalah
Ma’Pasilaga Tedong (Pertandingan Kerbau) dan penurunan peti jenazah di halaman rumah saat malam hari. Hari ke-dua adalah Ma'Tinggoro Tedong (Sembelih Kerbau) dan penerimaan-tamu serta berlanjut pada prosesi terakhir yakni mengantarkan jenazah ke tempat pemakaman.
|
Persiapan Ma'Pasilaga Tedong. Tedong didoakan sebelum diadu *Keluarga Bang Roman |
|
Tedong di keluarga Bang Roman |
|
Tedong di keluarga Bang Roman sedang didoakan, nampak seorang pemangku adat sedang berdoa agar segala rangkaian acara berjalan lancar. |
|
Ma’Badong, kidung pujian untuk menghibur keluarga yang tengah berduka yang berisi perjalanan hidup manusia dari lahir sampai kembali ke alam baka. |
|
Ma’Badong, kidung pujian untuk menghibur keluarga yang tengah berduka yang berisi perjalanan hidup manusia dari lahir sampai kembali ke alam baka. |
|
Pas banget, saat kedatangan upacara memasuki sesi Mapasonglo / upacara penyambutan tamu |
|
Para kerabat membawakan hewan ternak (umumnya Babi) untuk diberikan kepada keluarga yang beduka |
|
Tribun tamu dan para ta'siah |
|
Ma’Badong yang sakral |
|
Pembagian hewan kurban yang telah dipotong, untuk dibagikan ke tamu |
Toraya Ma'Elo; Totraja yang elok dan cantik kurang lebih seperti itu artinya. Sampai jumpa di lain kesempatan.
Ucapan Terimakasih kepada :
1. Tuhan YME, yang senantiasa mendampingi dalam perjalanan ini sampai lancar
2. Bang Roman Pongsama’ atas segala bantuan serta arahannya untuk menyasikan prosesi pemakaman Rambu Solo'.
3. Yang mau tanya rental motor / penginapan selama di sana, silahkan kontak saya by DM ya.
Terimakasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar